Taken by Google |
Saat mendengar kata "Toilet Training" kira-kira apa yang terbesit di benak, Bunda? Hmmm, pasti beragam hal.
Saya memulai Toilet Training pada anak pertama di usia 24 bulan, usia yang saya rasa pas. Namun, saya salah.
Sebelum usia 24 bulan, mertua sering membiasakan anak lepas pospak. Bahkan saya diminta untuk membiasakan hal tersebut di rumah agar bisa lepas permanen. Namun, saya tetap pada pendirian bahwa anak saya belum siap untuk lepas pospak karena setiap kali bangun tidur pospaknya masih berat. Meski itu bukan satu-satunya ciri anak siap lepas popok.
Suatu hari di usia 24 bulan, saya menemukan popok anak masih kering setelah 2 jam dipakaikan. Akhirnya, saya coba lepas dan memakaikan celana dalam. Selain itu saya juga terus menerus bilang, "Kalau ingin pipis bilang, ya!"
Pengalaman pertama Toilet Training ini sedikit membuat saya kaget sebab saya dapat jackpot yaitu mendapati pup anak jatuh ke lantai. Saat itu dia tidak pakai celana dalam hanya celana short pants biasa dan kejadian itu cukup memberi kesan bahwa saya betul-betul belum siap.
Dokumen pribadi |
Mulanya saya pikir Toilet Training itu cukup mudah untuk anak dua tahun karena usia tersebut ia sudah mampu berkomunikasi. Namun, saya harus mengatakan bahwa that's not easy as we think. Anak saya harus terus diingatkan untuk bilang bahwa dia ingin pipis atau pup. Tentu saja saya terus mengingatkan kala ingat. Tapi adakalanya saya lupa dan saat lupa mengingatkan, kasur sudah basah terkena pipis.
Ibrah pengalaman Toilet Training pertama bagi saya adalah:
1. Saya sadar ternyata saya belum siap
2. Saya juga sadar bahwa anak pun belum siap
Meski dua poin itu sudah dikantongi, saya tetap melanjutkan proses Toilet Training dan membiasakan anak untuk bilang jika ingin pipis atau BAB. Waktu berjalan begitu cepat. Anak ini sudah 28 bulan saja. Namun pencapaian Toilet Training-nya masih naik turun.
Bulan lalu dia sudah hampir lulus. Setiap kali hendak pipis ia segera bicara dan meminta dibukakan celana. Namun, akhir-akhir ini ia seperti malas dan tidak semangat untuk mengatakan keinginannya tersebut. Dia lebih sering mengatakan saat BAKnya sudah membanjiri playmat. Sungguh mengherankan memang. Namun itu normal. Tapi, saya semakin bertambah heran saat mengetahui bahwa dia lebih nyaman BAB di dalam pospak! Di usia 28 bulan ini malah lebih boros. Kadang dalam satu hari bisa habis empat buah. Ini fakta yang sangat menyedihkan.
Mengevaluasi proses bulan-bulan yang sudah dilalui, pada akhirnya saya memutuskan untuk kembali memakaikan pospak. Tidak 24 jam, hanya ketika dia tidur siang saja. Selebihnya saya membiarkannya tanpa pospak. Agar lebih irit.
Memang ketika memutuskan untuk melakukan Toilet Training baiknya kita mengukur kesiapan dua pihak, yakni anak dan orang tua. Jika hanya mengandalkan agar bisa lepas pospak dan bisa berhemat sedangkan dua pihak belum siap, maka hasilnya kurang memuaskan. Anak lama bisa lulus. Tidak semua memang, ada banyak yang sukses. Namun, harus aku akui bahwa anakku tipe yang agak lama untuk bisa lulus Toilet Training ini. Meski naik turun akan tetap kami lanjutkan. Semoga sebelum masuk tahun ketiga usianya, ia sudah lulus menggunakan popok.
Berbicara mengenai kesiapan anak dan orang tua, jujur orang tua yang juga mengasuh anak bayi (adiknya) akan cukup kerepotan jika hanya sendiri. Orang tua yang siap baiknya tidak hanya istri, tetapi juga suami sang partner mengasuh anak. Dalam kondisi apapun entah itu proses Toilet Training anak bahkan sampai proses ASI pun, peran seorang suami sangat sentral dibutuhkan. Kesuksesan Toilet Training-ku mungkin masih tertunda karena memang hanya aku yang turut andil. Aku mengurus bayi dan tentu kondisi pelatihan lepas popok ini sangat menguras tenaga dan energi. Selama proses ini harus diakui, cucian jadi banyak. Kadang setiap dua hari sekali harus mencuci seprai. Wah, sangat berat. Alasan tersebut lah terkadang aku memakaikan kembali pospak kepada anak sehingga memicu dia kembali nyaman dan lupa untuk bilang.
Betul, kesiapan dua belah pihak sangat penting. Terlebih "Orang tua" bukan hanya ibu atau hanya bapak tetapi kesiapan ibu dan bapaknya dalam menunjang kesuksesan anak.
Seperti sebuah pepatah mengatakan bahwa kedua orang tua ibarat sayap bagi anak. Anak bisa terbang ke atas karena dukungan kedua orangtuanya. Tanpa salah satunya tentu sayapnya hanya tersisa satu dan itu tidak mampu membuatnya terbang semau dia.
Jangan lupa untuk berdiskusi dan mengajak pasangan dalam proses Toilet Training ini ya, Moms!
Aku sedang mengikuti lomba blog yang diselenggarakan oleh Ibupedia! Don't forget to follow Ibupedia, ya!
Comments
Post a Comment