Kala pagi sudah tersingkap, deru motor menyala, mesin mobil mengepul, gerobak-gerobak bergerak. Semua memulai penghidupan. Pagi telah tersingkap maka rezeki siap terjemput.
Ya, begitu. Rutinitas yang kudengar setiap pagi. Orang-orang terbangun dan mulai bergerak menjemput rezekinya di hari yang baru. Ada yang menjemput sejak subuh ada pula yang memulainya di waktu siang bolong sampai malam yang buta.
Perut yang kosong sudah terisi demi menjemput rezeki. Kantong uang yang sepi kelak jam demi jam akan terisi oleh gelundungan receh dan uang kertas yang kucel.
Badan yang sudah harum tersiram sabun kelak akan meleleh kemudian luruh tergantikan peluh keringat yang menyengat. Tak mengapa semua demi keberlangsungan hidup.
Jemari-jemari kekar, terbakar, legam, kadang-kadang kutemui menjulurkan uang recehan yang masih "hangat" itu untuk menebus pulsa yang kukirimkan.
Ya, serpihan-serpihan receh dan uang kertas lusuh yang dicari sedari subuh tadi nyatanya harus kembali ditukar dengan keperluan hidup yang lain. Salah satunya adalah pulsa.
Kadang kutemui uangnya receh lima ratusan. Kadang juga kutemui uangnya hangat tersebab si uang di simpan di dekat kompor (tebak pedagang apaaa).
Pernah suatu kali kuberhadapan dengan seorang waria. Dia mengamen dengan gaya yang amat aneh dan menurutku cenderung menyeramkan. Wajahnya dipoles bedak tebal yang berujung bertolak belakang dengan kulit lehernya. Gincunya merona mungkin cocok disebut berlebihan. Alisnya seperti polisi tidur di jalanan. Belum kerudung sunami yang dikenakannya kebesaran. Melihatnya saja kusudah terkejut bukan kepalang. Keterkejutanku bertambah setelah kumelihat sesuatu yang dia bawa di depannya. Boneka! yang dibuat menempel di dadanya. Mungkin agar terkesan lucu. Atau agar orang mengira dia membawa anak? Tapi apa yang saya lihat? Sungguh saat itu saya sedang tidak fokus jadi melihat dia dengan dandanan dan kostum ngeri seperti itu membuat saya mengira bahwa boneka itu manusia. Lalu itu kepala siapa yang pakai kerudung?!! Benak saya kebingungan. Setelah beberapa waktu menatap dia yang tengah berjoget di depan dengan alunan musik dangdut saya baru sadar dengan apa yang saya lihat. Keterkejutan itu berhasil membuat saya menolak memberikan uang kepadanya. Berharap dia segera pergi dan meninggalkan saya. Tapi ... saya makin merinding dan hampir berteriak karena ketakutan saat dia berjalan menghampiri. Mendekat ke saya. Dan bertanya, "Voucher Ax*s berapaan, Teh?"
Setelah menjelaskan akhirnya waria itu fix membeli satu voucher Ax*s satu gigabyte. Cukup lama dia menyerahkan uangnya sebab dia harus mengumpulkan, mengorek, menghitung perlahan-lahan uang receh yang dia punya untuk membayar apa yang dia beli. Saya yakin itu uang hasil ngamen selama ini. Benak saya berpikir keras sambil mengetik SMS mengirimkan kode voucher ke teman dia bernama Vera.
Saya hanya berpikir begini, uang yang receh demi receh terkumpul, dari energi demi energi yang terurai, lelah demi lelah yang terkumpul, uang itu pada akhirnya berpindah tangan pula kepada orang lain. Dan hasil yang ia peroleh adalah sebuah kenikmatan dapat menikmati kuota hasil jerih payahnya sendiri.
Semua begitu.
Receh yang bertaburan serta uang kertas yang lusuh yang terkumpul dari tenaga yang terurai ke udara, lelah yang terhempas, dan perut yang awalnya terisi kemudian kosong itu pada akhirnya akan berpindah lagi. Ke tangan demi tangan. Hasilnya? Lelah itu menjadi nikmat karena buah dari usaha sendiri sedari subuh.
Uang uang yang ditimbun takan pernah memberikan kebahagiaan. Sebab sejatinya uang itu akan terus berpindah tangan. Tidak usah takut kehilangan uang yang dicari dengan sekuat tenaga sedari subuh itu, sebab dia sejatinya akan terus berpindah tangan. Dan akan selalu begitu. Biar lah dia berpindah dengan bijak sebijak mentari yang menyelam kala senja datang.
Comments
Post a Comment