Ini tentang ponsel pintarmu. Kau bisa melakukan apa saja dengan menggunakan ponsel itu. Membaca koran, menonton televisi, berbelanja, narsis, menghujat, mengkomentari, dll; sungguh kau bisa melakukan segalanya hanya lewat jemari lentikmu.
Ini tentang ponsel pintarmu. Bahkan bayi kecil dan anakmu yang masih belum banyak mengenal nama-nama benda di dunia ini, sudah kau kenalkan ponsel pintarmu. Dia tampak nyaman bermain dengan ponselmu. Tanpa tertawa, tanpa berkedip menatap layar ponsel yang menampilkan beragam warna dan suara menarik. Kau bahagia melihat dia diam dan asyik dengan ponselmu. Kau rasa salah satunya jalan tepat memang memberikannya ponsel pintarmu.
Ini tentang ponsel pintarmu. Anak-anak merengek kepadamu meminta izin ingin meminjam ponsel untuk main instagram, untuk membuat video boomerang, untuk memotret diri dengan beragam fitur bingkai. Kau memberikannya. Dia pun terus menerus merengek setiap hari meminta izinmu karena kecanduan bermain medsos. Bisa melihat segalanya di situ. Foto-foto orang cantik, berpakaian modis, tempat-tempat menarik, tren-tren terkini, bahkan satu hal yang tak bisa dia hindari adalah dia bisa saja melihat foto atau video pornografi dan pornoaksi tanpa sepengatahuanmu. Mereka mau tak mau akan dihadapkan pada kondisi itu; melihat gambar-gambar yang tidak sesuai dengan umur mereka, karena ponsel pintarmu. Ya, karena ponsel pintarmu.
Dear Bloggy
Ku meresapi tiap detik kehidupan dengan segala pernak-pernik kejadiannya yang kualami. Aku tidak dapat berkata-kata. Aku hanya ingin menangis dan marah. Tapi aku harus marah pada siapa? Saat aku melihat anak kecil sudah melihat adegan yang bukan untuk umurnya. Saat aku melihat remaja-remaja kecanduan pacaran dan sex bebas akibat mudahnya akses pornoaksi dan pornografi ditemukan. Saat aku melihat anak-anak SD sudah berpacaran dengan gaya pacaran suami istri. Aku harus menyalahkan siapa? Marah pada siapa? Kusungguh tak berharap semua ini terjadi. Sungguh miris melihat semua yang ada kini.
Anak muda mudi -entah dia santri atau bukan- mereka pacaran. Mereka seakan tak memiliki komitmen penuh dalam hidup ini. Sehingga apa yang menjadi tren saat itu mereka ikuti tanpa me-rechek kembali apakah tren itu disukai Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Bagaimana mereka mau me-rechek apakah tren itu disukai Allah dan Rasul-Nya bahkan mereka sendiri pun mungkin tidak terlalu kenal Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada rasa takut dalam dirinya. Tidak ada rasa diawasi dalam setiap gerak geriknya. Ini mungkin salah satu akar penyebab pergaulan remaja sekarang begitu memprihatinkan. Mereka jauh dari pribadi yg mengenal Allah dan Rasul-Nya. Andai mereka mengenalnya maka saya yakin pergaulan bebas yang marak ini tidak akan semiris yang saya lihat sekarang.
Orang tua, sekolah, dan lingkungan adalah tiga variabel penting untuk membentuk karakter anak. Jika di salah satu lost dari pendidikan agama maka akan berakhir buruk bagi anaknya.
Pendidikan agama menjadi pondasi utama bagi seorang anak untuk menjalani hidupnya dengan benar. Sebarapa kokoh pondasi ini tentu semuanya ditentukan oleh peran keluarga di rumah. Semakin dia kokoh menanamkan rasa takut kepada Allah maka setiap gerak-gerik anak tersebut akan terjaga baik kala sendiri mau pun saat di keramaian. Namun, jika pendidikan agama di rumah tidak kokoh anak akan goyah, mereka tidak punya pendirian, tidak punya komitmen. Saat diajak bergaul ke sana ke mari oleh teman, dia ikut. Ada tren begini begitu dia ikut. Sungguh, komitmen itu perlu dimiliki oleh setiap anak agar dia percaya diri melangkah dalam jalan yang benar tanpa harus berbalik arah dan takut akan dicemooh oleh temannya karena memiliki pilihan yang berbeda dari pada umumnya.
Kekokohan pondasi iman ini tidak serta merta bisa ditumbuhkan. Semuanya perlu proses dan pembiasaan. Kebiasaan tersebut tentu bisa kita mulai dengan membiasakan anak mendengar keteguhan-keteguhan iman para sahabat Rasulullah yang rela mati demi menjaga keimanannya. Mereka rela melakukan apapun demi Allah tetap di hatinya. Dengan terus menerus dicekoki keteguhan iman para sahabat ini, maka anak akan terasah jiwanya untuk memiliki hal yang sama seperti para sahabat Rasul yang ia dengar dari kisah tersebut.
Sungguh, memiliki buah hati adalah impian semua pasangan suami istri di dunia. Tapi, kita sebagai calon orangtuanya harus benar-benar serius dalam mempersiapkan diri untuk menjadi orangtuanya. Siap dalam segi ilmu dan kesabaran. Anak adalah amanah yg harus dijaga. Jika ia soleh kelak dia akan menjadi investasi dunia dan akhirat kita. Jika kita tidak sekuat tenaga belajar jadi orangtua soleh maka anak kita akan menjadi ujian di dunia maupun di akhirat.
Menjadi orangtua zaman sekarang tidak hanya butuh kemauan untuk belajar tetapi juga butuh keimanan yang besar agar tidak tergerus mengikuti tren zaman.
Ku berharap generasi yang lebih baik akan segera hadir lewat rahim-rahim solehah di bumi Indonesia ini. Anak-anak yg membawa bobot pada bumi dengan kalimat laa ilaa ha illallah.
Comments
Post a Comment