Sudah lima hari aku dan suami mengontrak rumah. Jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah mertua. Bagaimana rasanya? Seru. Baru sadar kalau sudah menikah saat mengarungi hidup berdua saja di kontrakan. Kontrakan ini cukup besar, ada ruang depan yang cukup luas, ruang tengah yang lumayan luas, ada kamar tidur yang cukup luas, ada pula kamar mandi mini.
Saat di rumah mertua dulu, masak nasi memang sering tapi tidak se-intens seperti saat mengontrak rumah. Saat tinggal serumah, biasanya aku memasak nasi untuk sarapan sekaligus makan siang. Kemudian masak lagi saat akan makan malam. Aman. Maksudnya tidak ada kesulitan yang berarti. Tetapi, sejak dua hari lalu di kontrakan, aku dibuat cukup sedih dan kesal dengan aktivitas memasak nasi.
Pertama, karena sibuk sedang mencuci piring aku meminta tolong suami untuk memasak nasi. Hasilnya, nasi cukup enak ketika panas. Tapi, saat dicabut jadi aneh (keras dan tidak enak di mulut, maklum ya pejuang mejikom). Tidak marah, sih. Ini jadi pelajaran untukku juga suami. Aku menyarankan agar airnya diperbanyak agar nasi masih tetap enak walau terus dipanaskan. Sayang, suami punya pendiriannya sendiri, airnya dua buku jari beliau. Gemas!
Kedua, saat itu ada bapak mertua berkunjung ke kontrakan. Aku memasak nasi dengan volume air versiku (banyak). Menit demi menit berlalu. Begitu pun detik, berlalu dengan cepat. Tetapi, lampu di mejikom belum juga menandakan nasi matang.
"Ya Allah! Gawat! Kasihan beliau mungkin sudah lapar!" Batinku.
Tidak lama, "klik" bunyi lampu memasak berpindah ke lampu menghangatkan. Uwww, tenang lah hatiku. Tapi, perasaan masih tidak enak sebab makanan belum juga tersaji di hadapan. Setahuku, setelah lampu mejikom itu berpindah, maka nasi masih basah dan belum matang sempurna.
"Ah, jadi kebahagiaanku masih harus ditunda lagi?" Aku hanya bisa membatin sambil menatap lampu mejikom.
Tidak ingin menunggu lebih lama lagi, kupaksa mengambil nasi yang seperti dugaanku, masih basah.
"Tuh, kan! Tapi, sudah biarkan! Daripada banyak yang kelaparan."
Akhirnya tiga buah piring itu terisi nasi hangat. Nasi di dalam mejikom tinggal tersisa dua kepalan tangan, sisanya ... ah, ini yang membuat jiwa ke-emak-an aku terkoyak! Sisanya mengerak dan masih menempel manja di wadahnya! Itu tanda bahwa mereka belum matang dengan sempurna. Ujung-ujungnya nasi yang mengerak itu akan dibuang, sungguh sedih sedih sedih. Kerak yang jika matang dengan sempurna itu akan menjadi nasi, Ibu-ibu! Nasi secentong-eun. Saat merendam wadah besinya, dugaanku tidak meleset. Nasi kerak itu sangat banyak, bertambah kesedihanku. Dan kejadian ini berulang sampai besoknya. Nasi yang baru sebentar berpindah itu sudah dicabut karena ada yang sudah kelaparan, ujung-ujungnya jadi kerak dan dibuang. Rasanya aku ingin menjerit, "Aaaaaaaaaaaaaaa". Aku dibuat merana oleh nasi. Tidak merana bagaimana, membuang nasi itu berat karena di luar sana banyak orang yang tidak makan, mereka kelaparan, menemukan nasi sangat sulit, padahal mereka sangat ingin makan. Lha, di sini aku malah membuangnya karena human error. Nasi yang kubuang itu mengingatkan aku pada Ibu yang rela menghutang beras ke orang demi makan anak-anaknya. Sungguh, betapa tidak teganya aku membuang butiran nasi. Tapi ... aku melakukannya. Oh!
Akhirnya tiga buah piring itu terisi nasi hangat. Nasi di dalam mejikom tinggal tersisa dua kepalan tangan, sisanya ... ah, ini yang membuat jiwa ke-emak-an aku terkoyak! Sisanya mengerak dan masih menempel manja di wadahnya! Itu tanda bahwa mereka belum matang dengan sempurna. Ujung-ujungnya nasi yang mengerak itu akan dibuang, sungguh sedih sedih sedih. Kerak yang jika matang dengan sempurna itu akan menjadi nasi, Ibu-ibu! Nasi secentong-eun. Saat merendam wadah besinya, dugaanku tidak meleset. Nasi kerak itu sangat banyak, bertambah kesedihanku. Dan kejadian ini berulang sampai besoknya. Nasi yang baru sebentar berpindah itu sudah dicabut karena ada yang sudah kelaparan, ujung-ujungnya jadi kerak dan dibuang. Rasanya aku ingin menjerit, "Aaaaaaaaaaaaaaa". Aku dibuat merana oleh nasi. Tidak merana bagaimana, membuang nasi itu berat karena di luar sana banyak orang yang tidak makan, mereka kelaparan, menemukan nasi sangat sulit, padahal mereka sangat ingin makan. Lha, di sini aku malah membuangnya karena human error. Nasi yang kubuang itu mengingatkan aku pada Ibu yang rela menghutang beras ke orang demi makan anak-anaknya. Sungguh, betapa tidak teganya aku membuang butiran nasi. Tapi ... aku melakukannya. Oh!
Ketiga, aku mencoba cara Mamah Mertua dalam memasak nasi, yaitu beras dimasak di kompor sampai airnya surut kemudian setelah itu baru dimasak di mejikom. Tujuannya agar lebih cepat dan hemat listrik, begitu kata Mamah. Saat aku coba, memang nasi lebih cepat matang dan listrik yang terpakai pun juga sedikit. Tapi, setelah melihat hasilnya kurang memuaskan juga (mungkin lagi-lagi karena human error baru pertama kali nyoba). Nasi bagian bawah tampak kuning karena terlalu matang. Ujung-ujungnya juga dibuang karena mengerak.
Pengalaman demi pengalaman akan memperkaya kita. Sejauh mana kita memetik hikmah dan mengambil intisari dari berbagai pengalaman tersebut. Memasak nasi butuh keahlian yang mumpuni. Tidak hanya masalah bagaimana nasi itu bisa matang dan enak dikonsumsi tapi seorang emak-emak juga harus memikirkan dan mempertimbangkan keefektifan variabel lain sepereti listrik, waktu, dan sebagainya. Jago juga, ya, Mamer, hehe. Intinya, semua ada ilmunya. Dan ilmu itu bisa kita dapatkan dari berbagai pengalaman, kegagalan, dan coba-cobanya kita. Jangan bosan untuk memetik hikmah dari semua orang, dengan begitu semoga kita bisa jadi orang khayyah, kaya ilmu!
Bandung, 11 September 2018
Comments
Post a Comment