Skip to main content

KAJIAN SUBUH BERSAMA UAH



Semalam adalah jadwal menginap di rumah Mamah (mertua). Ya, setiap malam Ahad, kami akan berkunjung setelah selesai berdagang di rumah kontrakan. Menginap kemudian subuh kembali lagi ke kontrakan karena harus buka lapak. Namun, semalam kami bangun dengan berat pada pukul setengah empat, ya dipaksa bangun walau masih berat demi mengikuti kajian Ustadz Adi Hidayat atau biasa orang mengakronimkan dengan "UAH".

Singkat cerita, setelah menyikat gigi dan berwudu kami segera berangkat. Waktu menunjukan pukul empat subuh hari. Ya, jujur ini pengajian subuh pertama yang saya alakoni selama tinggal di Bandung dan berstatus istri. Kalau suami sudah sering ikut diajak tetangganya. Wajar baru kali ini bisa ikut, sebab kondisi badan dan kejiwaan (halah! maksudnya kondisi keimanan) sedang terhangatkan oleh kehadiran si kecil di perut. 

Pagi masih buta, jalanan juga masih sepi, orang-orang sedang lelapnya tertidur di kasur, kami berangkat. Kupikir jam segini pasti masih sepi sebab kan ya namanya juga di kota orang-orang tampaknya akan kurang tertarik. Saya bahkan bingung saat suami (sesaat setelah bangun tidur) berkata, "Bagaimana kalau kita tidak kebagian tempat?" Saya hanya melongo dan menepis, "InsyaAllah, tidak." Adu pikiran saya masih bertarung, "Kayaknya gak mungkin penuh, deh." Sesampainya di lokasi saya tertegun dan menelan ludah. Kurang lebih satu kilometer sebelum masjid yang dijadikan lokasi pengajian sudah berjejer mobil-mobil parkir. Saya tidak yakin itu mobil jamaah yang mengaji, tetapi saat saya konfirmasi kepada suami, ya, benar, itu mobil jamaah pengajian subuh ini. Juga, ya, benar, orang yang ke luar dari mobil-mobil tersebut pun berkostum ke pengajian. Saya hanya bergumam, "Subhanallah! Tidak menyangka!"

Sampai di masjid, saya semakin dibuat kagum, sebab di sana pun parkiran motor sudah penuh. Ditambah ketika masuk area masjid, lapangan depan masjid pun sudah dinaungi tenda dan dialasi terpal plus sudah banyak jamaah yang hadir. MasyaAllah! Saya makin takjub saja.

Salat subuh pun dimulai, imam membacakan surat Al Hujurat tentang jangan mencela, tentang ikhwah (kalau tidak salah ayat 11-15). Pada rakaat kedua imam membaca surat Al Fajr sampai tuntas. Saya duduk di lapangan kedua dari belakang (jebot banget ya, hihi) tepat di samping saya seorang ibu dengan bayinya yang kalau boleh ditebak dari suaranya baru sekitar dua-tiga bulan menangis sejak rakaat pertama. Saya tidak masalah, sih, cuman tampaknya imam tidak mendengar deraian air mata bayi itu sehingga bacaan yang dibaca saat salat cukup panjang. Sang ibu sudah menggendong anaknya yang sekejap terdiam kemudian sampai salam tangisannya tidak berhenti. Ironisnya bayi itu sampai hampir tersedak. Sebagai seorang perempuan yang sedang hamil, saya paham bagaimana perasaan itu bayi dan ibu bayi tersebut. Di situ lah saya berharap kebijaksanaan imam salat. Namun, apalah daya setelah saya konfirmasi kepada suami, ternyata deraian itu tidak sampai ke mereka. Saya hanya membatin saat salat (ketahuan salatnya tidak khusyuk, uhuk), kenapa tidak diperpendek saja bacaan suratnya, saya sangat miris mendengar tangisan bayinya yang sudah sampai tersedak begitu. Tapi apalah daya, kuhanya seorang makmum paling belakang, Guys! Hihi.

Setelah salat subuh, pengajian dibuka oleh Master of Ceremony alias MC yang banyak mengucapkan "eu" dalam pembicaraannya. Maaf kalau aku mengatakan begini, sebab selama aku bergabung di sebuah pesantren yang cukup terkenal di Bandung, sang gurunda pernah berucap bahwa jika ditemukan banyak "eu" saat seseorang berbicara itu artinya pasokan kata dalam otaknya belum banyak artinya dia belum siap berbicara. "Eu" itu kan artinya dia masih berpikir apa yang akan dan harus diucapkan. Jika seseorang itu sudah siap mau berbicara apa dan apa yang harus diungkapkan saya yakin ungkapan "eu" tidak akan muncul. Coba saja kalian coba di rumah! Bagi siapa pun yang mendengar pembicara mengucapkan "eu" pasti dia akan bosan dan bertanya-tanya, "Kok, a eu a eu terus?" Wah, wah, wah! Mari berlatih.

Kembali ke topik utama.

Setelah sang MC membuka acara dengan singkat, sang ustadz pun ke luar. Subuh tadi UAH mengenakan gamis warna putih dibalut jas warna hitam dan peci warna putih. Beliau menyambung materi sebelumnya yakni tentang "Mengupas Tuntas Tentang Sunnah". Subuh tadi membahas sunnah yang berkaitan tentang qunut dan beberapa hal lainnya. Beliau mengemukakan kronologis dari sebuah "kebiasaan" yang ada di masyarakat yang sering dianggap bid'ah oleh beberapa orang. Ini lah pentingnya kita menuntut ilmu, ya, agar tidak mudah menghakimi orang. Bisa jadi kita yang fakir ilmu sehingga tak mampu menerima perbedaan khilafiyah padahal itu ada sejarahnya di zaman Rasulullah SAW, wallahu'alam.

Penyampaian materinya mudah dipahami dan terang benderang dengan pilihan kosakata yang sederhana. Pukul tujuh UAH mengakhiri pengajiannya kemudian jamaah pun berjubel memadati jalan ke luar saat panitia menutup dan mengabarkan jamaah boleh mengambil sarapan dan air minum yang sudah disediakan panitia. Dan, wakwaaaw! I need some oxigen! Antrean ke luar sama jalurnya dengan antrian mengambil sarapan (nasi kuning). Sehingga antrean penuh, sesak, dan padat. Sebagai seorang bumil saya amat khawatir perut saya terjepit oleh keganasan jamaah yang lapar (tampaknya). Wajar saya mengatakan hal ini, sebab jamaah perempuan di belakang saya agak mendorong badan saking sempitnya antrean. Uh! Sesak! Untung saya bisa mengendalikan ibu-ibu tersebut. Saat saya kebagian menerima nasi kuning, saya menanyakan ke panitia perempuan tentang keberadaan kerupuknya, sungguh saya sangat prihatin dengan panitia tersebut sebab saking kewalahan dan tampaknya dia sedari tadi kesal melihat jamaah yang "sangar" mengambil nasi kuning saya pun kena batunya. Saat saya menanyakan kerupuk dua kali dia hanya menatap saya seakan berkata, "Liat geh kerupuknya masih ada apa enggak di kresek, nyari sendiri kek", hihi saya hanya menaruh keprihatinan kepadanya dan tersenyum sedikit kepadanya. Saya tahu kresek kerupuk sudah kosong, oleh karenanya saya menanyakan refiil-nya mana, tapi kemudian responnya seperti itu, hihi, saya maklumi. 

Pada saat selesai menerima nasi kuning, saya pun ikut berbaris mengantre untuk ke luar. Saya ke luar dengan keadaan pusing sedikit sebab melihat banyak manusia di sekeliling. Saat hendak mencari keberadaan motor, saya pun dibuat bingung, di mana parkir motor tadi? Setelah berjalan cukup jauh, menyusuri kepadatan manusia, saya pun menemukan Beat hitam dengan helm warna ungu di kacanya. Yes! Yokatta, finally! Bahasa gaulnya begitu, hahaha. Namun, saat kepala saya celingak- celinguk mencari keberadaan suami, saya belum menemukannya. Oh, ternyata beliau masih mengantre ke luar sebab tadi posisinya duduk di dalam masjid (ih, enak!). Saya melipir ke area kosong yang dijejeri pepohonan besar. Di sana sudah banyak pula orang-orang yang duduk di emperan jalan menikmati nasi bungkus, ada pula yang sekedar untuk beristirahat menunggu keluarga datang (seperti saya), dan tidak kalah juga ada yang sempat-sempatnya narsis (ih kan belum mandi? hihi). Setelah saya memberi kabar suami posisi saya di mana, sambil menunggu saya juga ikut menyantap nasi kuning tadi yang dengan susah payah menerimanya, wow!  Sebelum saya duduk andeprok di emperan ini, saya coba menunggu suami di atas motor sambil makan, tapi tidak nyaman. Contohnya, akua gelas saya jatuh dan pecah. Dua kali juga kaki saya sempat tersangkut di tali tas yang digantung di motor. Astagfirullah, qodarullah saya tidak terjatuh, cukup akua gelas saya saja. Huhu.

Setelah duduk nyaman dan tumakninah saya mulai menyuap nasi kuning yang nampak lezat (sebab lapar) hehe. Tidak lama dari itu, sesosok lelaki berpeci cokelat, berkacamata bulat, an berjaket kotak-kotak muncul. Dari kejauhan beliau tampak mencari sosok perempuan berjilbab cokelat dan berkacamata bulat. Qodarullah kepadatan manusia sudah mulai habis sehingga saya mudah ditemukan. Saya pun melambaikan tangan dan dia melihat keberadaan saya. Oh, ya, suami saya tidak mengambil nasi kuning karena terlalu ramai dan padat (lelaki memang begitu :D) akhirnya kami makan nasi kuning sebungkus berdua. Saya paling suka jika makan sepiring, sebungkus, semangkok berdua dengan suami, sebab nikmatnya luar biasa. Beda sekali saat makan sendiri-sendiri dalam piring yang berbeda, apalagi makan sendiri suami tak ada, nikmatnya kurang, lo! Makan berdua dengan suami selalu punya citarasa tersendiri, bahkan bisa berkali-kali nambah, hahaha. Tapi, makan nasi kuning sebungkus  berdua ini walau tidak sampai nambah alhamdulilah Allah mengenyangkan kami. Barakallah.

Kami pun pulang ke kontrakan. Saat melewati swalayan yang berikon lebah itu, aku melihat ada tukang bubur Cianjur, tidak bisa dielakan kami pun sarapan lagi di situ. Tiba di rumah sekitar jam delapan kurang, aku lekas memasak beras, mencuci piring, dan merendam pakaian kotor. Setelahnya tidur (balas dendam nih, yeee) sampai pukul sepuluh (alarmnya sih sampai jam sembilan, hihi, korupsi, nih!). Bangun jam sepuluh kondisi badan jadi aneh, panas dingin, hidung gatal, dan rasanya ingin melanjutkan tidur saja. Eits, tapi takut ada yang lapar, nih, akhirnya saya lanjut menggoreng ikan (jangan tanya ikan apa, ya!), mengukus cabai, tomat, bawang ke atas nasi yang hangat di mejikom, dan menghangatkan tempe sisa kemarin (iwh, wkwk). Tidak lupa juga memasak sayur bayam. Ada cerita lucu saat memasak bayam ini, Guys! Saya dua kali memberikan air kuahnya, lo! Sebab air rebusan yang pertama amazing sekali! Berubah warna dan rasanya tidak enak. Bau pestisida! Saya menebak bahwa bayam ini saya cuci tidak bersih ditambah ada pestisidanya, uh, eneg. Untung lah saya ada ide untuk mengganti air kuahnya dengan yang baru. Setelah diberikan bumbu tambahan (sebab bumbu di awal sudah hilang), baru lah saya bisa menerima masakan saya sendiri. Kuah yang kedua ini lebih terasa bumbu, tidak keruh, dan tidak lagi bau pestisida. Saya rasanya ingin menanam sendiri bayam di rumah, ih. Tidak lama setelah sayur bayam tersaji, saya memanggil suami untuk makan. Makanan sudah tersaji nikmat. Ada sambal, ikan (jangan tanya ikan apa), tahu, tempe, sayur bayam, dan sup (lagi-lagi sisa kemarin, hihi). Kami makan dengan lahap. Suami juga tampaknya sangat lahap. Saya lirik-lirik sesekali dia mencomot ikan asin (ketahuan, deh!) :D (FYI, doi tidak suka ikan segala jenis ikan, suka, sih, asal masaknya enak, OKsip), dia juga lahap mencomoti sambal terasinya (ssttt, padahal di dalamnya ada bawang, xixi), ya, doi juga tidak suka bawang, (ya Allah harus kukasih makan apa swamiquh? hihi).

Nasi dua kali nambah, akhirnya suami menyerah. Tapi tidak dengan bumil, masih nambah dengan berkali-kali menyentong nasi, xixi. Untuk bumil mah bebaaas, ya gak? Xixi. Alhamdulilah perjalanan subuh kali ini terlewati dengan maknyuuus! Seperti jargon Pak Bondan di acara makan-makan (masih pada ingaaat?). Mudah-mudahan di weekend selanjutnya ada lagi perjalanan seperti ini dengan kondisi yang lebih baik lagi, aamiin. Nah, kan, sudah terlalu panjang kuberkelakar. Mohon dimaafkan jika tidak sesuai isi dengan judulnya, wkwk, memang biasanya orang jadi suka melebar ke mana-mana kalau sudah keasyikan. Ingat kata UHH (ayo, tebakm, siapa?) dalam suatu acara motivasinya bahwa istri, ibu, perempuan itu tidak bisa salah, hahahaha. Bos juga. Jadi, kalau kau punya bos perempuan? kelar sudah hidup kau.

Ketawa duluuuk! Awas kalau masih senderut. Rawr! #lo!

Comments

Popular posts from this blog

Housewife Vs Homemaker

Housewife vs Homemaker? Apa ini? Dalam Bahasa Inggris, profesi IRT alias Ibu Rumah Tangga biasa disebut housewife . Karena ilmu bahasa Inggris saya nihil, jadi saya gak tau kenapa orang Inggris menamakan IRT itu dengan sebutan housewife ? Sebuah kata yang terdiri dari dua suku kata, "rumah" dan "istri". Kalau dibolehin untuk ngasih opini dari kelas sudra saya, mungkin maksudnya adalah seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah. Wah, keren. Lebih lengkapnya bisa mungkin cari di kamus EOD, Gais. Daripada penasaran, hehe. Gak salah memang kalau seorang IRT diartikan sebagai seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah, sebab memang begitu lah kenyataan yang sering terjadi di masyarakat. Namun, karena bahasa punya sifat inovatif, di mana dia bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, bisa jadi kosakata housewife  dapat digantikan perannya menjadi homemaker . Wah, apa itu? Istilah homemaker  tercetu

Belajar Bahasa Jepang Sehari-hari

Di Rumah Orang Jepang biasanya sesaat setelah mereka bangun pagi, akan langsung menyapa keluarganya. Dengan ucapan selamat pagi, "Ohayou" . Mereka akan saling mendahului untuk menyapa dengan ucapan ini. Mari kita mulai percakapannya! Sakura : "Ohayou" Okaasan : "Ohayou" Otousan : "Ohayou" Kenta (Imouto) : "Ohayou" Sakura : Hayaku okiru ne, Kenta ha." Okaasan : "Sou ne. Kyou otona ni nattakara ne." Kenta : "Nande sore. Kyou shiken ga attakara." Otousan : " Yoku ganbatte ne . Jaa, ikanakya. Ittekimasu . " Okaasan : "A, itterashai ." Kenta to Sakura : " Itterashai ." Terjemahan Sakura : "Pagi." Ibu : "Pagi." Ayah : "Pagi" Kenta (adik laki-laki) : "Pagi." Sakura : "Kenta bangunnya cepet ya." Ibu : "Iya ya. Karena sekarang ma udah gede." Kenta : "Apaan sih. Aku bangun cepet karena ada ujian hari in

Asmaul Husna*

Saat mendengarkan iklan di radio MQ FM, saya terkesan oleh salah satu lagu di dalamnya. Lagu itu menyanyikan 99 nama-nama Allah yang baik dan agung, yakni Asmaul Husna. Lalu sadar kalau laguitu sangat menyentuh hati saya, saya buru-buru merekamnya. Dan lalu saya menangis ketika mendengarkannya. Alhamdulilah. Sudah dua minggu semnejak saya mendapatkan lagu baik itu. Lalu saya ingin sekali mengikuti lagu tersebut. Namun saya terbatas karena belum hafal lirik lagunya. Dengan beberapa kali mendengarkan lagu itu, saya pun menulis liriknya yang semoga sesuai dengan lagu tersebut. Saya masih belum tahu siapa gerangan sang biduannya. Mungkinkah Sami Yusuf? Hemm. Siapapun dia, semoga Allah menjaganya dengan sebaik-baik perlindungan ^^ Bdw, ini lanngsung saja saya lampirkan liriknya. Siapa tahu kalian sudah  punya lagunya tapi belum tahu liriknya. Hehe. Mari kita sharing . Yang bisa nyanyiin lagunya, ayo nyanyikan! Ya Allah...4x Ya Allah...4x Allahu antal malikul quddus... Wal jabbarul