Ananda, ini ada pesan. Pesan ini amat spesial, karena ditulis saat Ibu masih muda. Bahkan teramat muda, jika dibandingkan dengan usia bumi kita. Pesan ini gak terlalu berat. Bahkan mungkin sangat ringan. Pesan yang pernah Ibu dengar dari guru Ibu. Pesan yang sampai saat ini masih Ibu pelajari. Tidak usah terburu-buru, karena belajar itu berproses, tak harus instan.
Pesan itu terlalu sedikit dan singkat. Untuknya, Ibu perpanjang prolognya. Mungkin, kamu bertanya, "Kenapa harus menulis judul ini dengan tulisan itu? Padahal bisa saja dengan pilihan kata apa pun."
Iya, maafkan lah Ibu, hei Nak. Terlalu banyak nasehat yang ingin sekali Ibu sampaikan padamu, dari duluuuu. Ibu pendam, ibu simpan, di hati. Tapi, ternyata menantikanmu adalah masa yang cukup panjang. Sedangkan waktu terus berputar mengolah usia Ibu menjadi semakin biru. Memori yang harus nempel di hati dan syaraf Ibu semakin bertambah. Ibu takut meluap dan akhirnya lenyap. Sungguh, Ibu takut kehilangan segalanya. Untuknya, daripada hanya disimpan dalam jiwa, lebih baik dituangkan dalam tulisan. Kelak, tak hanya kamu yang ternasehati, tapi dunia juga.
Baik, sudah cukup panjang prolognya. Mungkin lebih tepat kalau disebut Ibu ngomong sendirian. Ah. Ibu gak peduli, Nak. Lebih baik dari pada berbuat dosa.
Pesan itu disampaikan oleh guru Ibu dengan hati. Ibu kemudian bertanya-tanya, apakah Ibu bisa menyampaikannya juga dengan hati? Sama seperti guru Ibu. Tolong doakan, ya!
Dan, ini lah nasehatnya.
"Dan beliau ... Menulis itu dalam keadaan gak punya rasa dengki terhadap siapa pun, gak punya kebencian terhadap apa pun. Hatinya begitu ikhlas. Beliau menulis dalam keadaan hatinya ikhlas, bening, baik. Makanya tulisannya begitu enak dibaca, nikmat, tenang."
Itu lah pesannya. Pesan yang sangat berharga bagi Ibu si doyan nulis. Nasehat berharga untuk kita semua sebagai pecinta Allah. Tak ada yang dapat Ibu sampaikan lagi. Malam sudah semakin larut. Lelah pun sudah lama hinggap. Rasa ngantuk sudah tumpah memenuhi raga. Salam untuk angkasa yang gelap dari pecinta cinta.
Pesan itu terlalu sedikit dan singkat. Untuknya, Ibu perpanjang prolognya. Mungkin, kamu bertanya, "Kenapa harus menulis judul ini dengan tulisan itu? Padahal bisa saja dengan pilihan kata apa pun."
Iya, maafkan lah Ibu, hei Nak. Terlalu banyak nasehat yang ingin sekali Ibu sampaikan padamu, dari duluuuu. Ibu pendam, ibu simpan, di hati. Tapi, ternyata menantikanmu adalah masa yang cukup panjang. Sedangkan waktu terus berputar mengolah usia Ibu menjadi semakin biru. Memori yang harus nempel di hati dan syaraf Ibu semakin bertambah. Ibu takut meluap dan akhirnya lenyap. Sungguh, Ibu takut kehilangan segalanya. Untuknya, daripada hanya disimpan dalam jiwa, lebih baik dituangkan dalam tulisan. Kelak, tak hanya kamu yang ternasehati, tapi dunia juga.
Baik, sudah cukup panjang prolognya. Mungkin lebih tepat kalau disebut Ibu ngomong sendirian. Ah. Ibu gak peduli, Nak. Lebih baik dari pada berbuat dosa.
Pesan itu disampaikan oleh guru Ibu dengan hati. Ibu kemudian bertanya-tanya, apakah Ibu bisa menyampaikannya juga dengan hati? Sama seperti guru Ibu. Tolong doakan, ya!
Dan, ini lah nasehatnya.
"Dan beliau ... Menulis itu dalam keadaan gak punya rasa dengki terhadap siapa pun, gak punya kebencian terhadap apa pun. Hatinya begitu ikhlas. Beliau menulis dalam keadaan hatinya ikhlas, bening, baik. Makanya tulisannya begitu enak dibaca, nikmat, tenang."
Itu lah pesannya. Pesan yang sangat berharga bagi Ibu si doyan nulis. Nasehat berharga untuk kita semua sebagai pecinta Allah. Tak ada yang dapat Ibu sampaikan lagi. Malam sudah semakin larut. Lelah pun sudah lama hinggap. Rasa ngantuk sudah tumpah memenuhi raga. Salam untuk angkasa yang gelap dari pecinta cinta.
Comments
Post a Comment