Setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Bukan begitu? Dan, kita takan 'beres' kalau mimpin diri sendiri aja belum beres.
Sebenarnya, beberapa waktu ini saya mulai sadar kalau masa kecil saya berbeda dengan masa kecil kawan saya pada umumnya. Ada banyak perbedaan. Saya jadi heran. Saya siap menunggu jawaban dari Allah lewat sang waktu.
Sambil menunggu jawaban itu, saya hanya bisa berpesan saja. Sejatinya, setiap orang itu adalah pemenang. Baik dalam skala kecil yakni pemenang untuk dirinya sendiri dari hawa nafsu, dll, atau dalam skala besar yakni sebagai pemenang dalam kategori manusia teralay sedunia #aeh #sorry #khilaf, pemenang dalam kategori hamba super saleeeh, hamba terbaik-Nya, subhanallah.
Terkadang kita menilai seseorang buruk sebab dia pernah berbuat salah. Titik hitam yang setitik itu jauh lebih kentara dalam pandangan kita sampai sampai menutup mata hati kita untuk melihat masa depan dia yang masih cerah.
Jika ada anak yang punya masa kecil suram, masa remaja kacau, belum tentu takdir selamanya berkata begitu kepada dia. Mungkin bisa saja masa tuanya dia jadi seorang ahli ilmu, faqih, atau ahli hadits. Kita gak tau, Allah yang tau.
Terkadang, masa kecil seorang anak yang berbeda dari pada kebanyakan dijadikan cap bahwa si anak itu begini dan begitu. Tidak jarang pula kita melabeli anak tersebut sebagai anak yang aneh dan berbeda. Padahal, kita gak tau Allah punya rencana apa pada tiap-tiap kisah yang Ia berikan pada setiap manusia.
Subhanallah, jadi emang kalau jadi muslim yang sejati itu hendaknya kita selalu bisa berprasangka baik sama ketentuan Allah, ya. Kita gak tau ada takdir apa di balik semua kejadian. Memang tidak semua kepala dapat berhusnudzan, Gais. Allah membatasinya. Dan hanya hambanya yang mau berpikir pakai iman saja Allah berikan kemampuan berhusnudzan.
Jadi, dulu saya sempat merasa berbeda dari kawan-kawan saya. Kok, mereka bisa pacaran? Saya malah takut sama cowok. Tapi, lihat. Ternyata itu bentuk perlindungan Allah kepada saya dan keturunan saya (insyaAllah). Sempat juga saya berpikir pas masih nyandang status anak SD, "Kok, saya malu saat ke luar betis saya keliatan?" MasyaAllah, ternyata itu karunia, Gais! Karunia tak terhingga (mari kita namakan itu dengan karunia tak terhingga). Anak seusia begitu kayaknya masih belum banyak yang kepikiran hal tersebut.
Saya jadi berpikir, masa kecil dan aqil baligh saya beda bangeeet sama teman-teman sebaya, ternyata itu tanda sayang Allah pada saya (amin). Dan mungkin cara Allah untuk menyiapkan saya jadi seorang pemenang untuk diri saya sendiri. Saya masih belum paham gerangan takdir saya bagaimana di usia empat puluh tahun. Tapi, saya terus menyasar dan merabai apakah benar keinginan saya mungkin akan tercapai? Jadi Allah begini kan saya? Howalah, saya mikirnya jauh bener, ya. Heu. Saya hanya bisa diam dan menunggu kabar baik Allah saja.
Begitu lah hidup. Walau lidah ini panjang agar dapat mengatakan sesuatu dengan cepat, tapi hati dan akal kita harus jauh lebih panjang agar bisa mengontrol perkataan. Jangan mudah melabeli sesuatu (padahal saya sendiri sering banget kayak gitu, haha). Pada akhirnya, label itu akan tersingkap dan Allah lah yang akan membukakan yang sebenarnya, Gais.
Ok, baik. Sampai situ aja cuap-cuapnya. Saya gak paham energi menulis ini datang dari mana, ya? Tampaknya pertanyaan yang salah, pasti datangnya dari Allah, he. Saya ulang, kok, saya jadi mengorek-ngorek masa kecil saya, ya? Hwa, jawabannya sudah saya dapat, sebab saya dekat lagi sama sobat kecil saya. Uye! Bagus. Itu tandanya Allah memanjangkan tali persaudaraan ini. Semoga sampai Jannah-Nya, amin. See yea!
Banyakin istigfar.
Sebenarnya, beberapa waktu ini saya mulai sadar kalau masa kecil saya berbeda dengan masa kecil kawan saya pada umumnya. Ada banyak perbedaan. Saya jadi heran. Saya siap menunggu jawaban dari Allah lewat sang waktu.
Sambil menunggu jawaban itu, saya hanya bisa berpesan saja. Sejatinya, setiap orang itu adalah pemenang. Baik dalam skala kecil yakni pemenang untuk dirinya sendiri dari hawa nafsu, dll, atau dalam skala besar yakni sebagai pemenang dalam kategori manusia teralay sedunia #aeh #sorry #khilaf, pemenang dalam kategori hamba super saleeeh, hamba terbaik-Nya, subhanallah.
Terkadang kita menilai seseorang buruk sebab dia pernah berbuat salah. Titik hitam yang setitik itu jauh lebih kentara dalam pandangan kita sampai sampai menutup mata hati kita untuk melihat masa depan dia yang masih cerah.
Jika ada anak yang punya masa kecil suram, masa remaja kacau, belum tentu takdir selamanya berkata begitu kepada dia. Mungkin bisa saja masa tuanya dia jadi seorang ahli ilmu, faqih, atau ahli hadits. Kita gak tau, Allah yang tau.
Terkadang, masa kecil seorang anak yang berbeda dari pada kebanyakan dijadikan cap bahwa si anak itu begini dan begitu. Tidak jarang pula kita melabeli anak tersebut sebagai anak yang aneh dan berbeda. Padahal, kita gak tau Allah punya rencana apa pada tiap-tiap kisah yang Ia berikan pada setiap manusia.
Subhanallah, jadi emang kalau jadi muslim yang sejati itu hendaknya kita selalu bisa berprasangka baik sama ketentuan Allah, ya. Kita gak tau ada takdir apa di balik semua kejadian. Memang tidak semua kepala dapat berhusnudzan, Gais. Allah membatasinya. Dan hanya hambanya yang mau berpikir pakai iman saja Allah berikan kemampuan berhusnudzan.
Jadi, dulu saya sempat merasa berbeda dari kawan-kawan saya. Kok, mereka bisa pacaran? Saya malah takut sama cowok. Tapi, lihat. Ternyata itu bentuk perlindungan Allah kepada saya dan keturunan saya (insyaAllah). Sempat juga saya berpikir pas masih nyandang status anak SD, "Kok, saya malu saat ke luar betis saya keliatan?" MasyaAllah, ternyata itu karunia, Gais! Karunia tak terhingga (mari kita namakan itu dengan karunia tak terhingga). Anak seusia begitu kayaknya masih belum banyak yang kepikiran hal tersebut.
Saya jadi berpikir, masa kecil dan aqil baligh saya beda bangeeet sama teman-teman sebaya, ternyata itu tanda sayang Allah pada saya (amin). Dan mungkin cara Allah untuk menyiapkan saya jadi seorang pemenang untuk diri saya sendiri. Saya masih belum paham gerangan takdir saya bagaimana di usia empat puluh tahun. Tapi, saya terus menyasar dan merabai apakah benar keinginan saya mungkin akan tercapai? Jadi Allah begini kan saya? Howalah, saya mikirnya jauh bener, ya. Heu. Saya hanya bisa diam dan menunggu kabar baik Allah saja.
Begitu lah hidup. Walau lidah ini panjang agar dapat mengatakan sesuatu dengan cepat, tapi hati dan akal kita harus jauh lebih panjang agar bisa mengontrol perkataan. Jangan mudah melabeli sesuatu (padahal saya sendiri sering banget kayak gitu, haha). Pada akhirnya, label itu akan tersingkap dan Allah lah yang akan membukakan yang sebenarnya, Gais.
Ok, baik. Sampai situ aja cuap-cuapnya. Saya gak paham energi menulis ini datang dari mana, ya? Tampaknya pertanyaan yang salah, pasti datangnya dari Allah, he. Saya ulang, kok, saya jadi mengorek-ngorek masa kecil saya, ya? Hwa, jawabannya sudah saya dapat, sebab saya dekat lagi sama sobat kecil saya. Uye! Bagus. Itu tandanya Allah memanjangkan tali persaudaraan ini. Semoga sampai Jannah-Nya, amin. See yea!
Banyakin istigfar.
Comments
Post a Comment