"Kau, mungkin tak tahu rasanya menjadi aku."
Tangisannya terurai ke angkasa.
"Bercita-cita jadi pendengar padahal aku tidak bisa mendengar. Aku tak ubah seperti ingin memeluk bulan. Mustahil kumenggapainya."
Senja masih bungkam saat suaranya memekik kepada hamparan jingga yang mempesona. Buih pepasiran bergerombol terbawa deburan ombak. Langit pun masih tetap setia menjadi penyimak terbaik. Penyimak terbaik untuk kisah-kisah pilu wanita yang keperihan.
"Kau tidak akan mungkin dapat merasakan, bagaimana jadi orang seperti aku. Didengarkan saat bercerita tapi tak bisa mendengar saat orang lain bercerita. Kau tidak akan pernah tau rasanya. Sebab kau hanya senja yang selalu dipuja."
Lagi, air mata kepedihannya tumpah ruah bersamaan dengan deburan ombak yang mendobrak. Segukannya kian mencekam. Tapi senja hanya terud bungkam. Tak ada jawaban dan mungkin wanita itu memang tidak membutuhkan jawaban.
Jemarinya menyentuh pepasiran yang basah. Tangisannya terhenti. Wanita dengan selendang berwarna putih bersih itu mendongkakan wajahnya kepada hamparan samudera yang biru. Tak dapati batas dari pandangannya. Ia hanya melihat ujung laut yang seakan menempel dengan awan, dengan matahari.
Ia terdiam beberapa detik. Menghela nafas agak dalam. Tatapannya tak lepas dari langit yang menempel kepada samudera biru. Betapa indahnya lansekap bersenja di dekat samudera. Kau seakan menjadi kecil dan bahkan tiada berarti dibanding samudera dan langit yang terhampar. Kau bahkan tak pernah sepadan dengan sebundar matahari yang raksasa. Dan, bahkan kau tidak akan pernah sampai kala kau memutuskan menghitung jumlah buih pepasir di pantai. Kau takan mammpu melakukannya. Ah, betapa kecilnya aku ini. Tapi, seakan aku lah yang paling hina dan sengsara saat satu butir kenikmatan hampir dicopot Ilahi dari pangkuanku. Padahal, itu milik Dia yang punya semesta. Bodohnya aku belum bisa menjaga titipan-Nya dengan sempurna. Habis hipang sesal baru tiba. Tapi, apa artinya penyesalan ini jika kuhitung nikmat lain yang masih kupegang? Bahkan saat kedua mataku tengah terjebak dalam sebuah orkestra alam yang begitu indah, adalah kenikmatan yang harusnya kusyukuri. Betul, aku memang kehilangan nikmat mendengar dengan sempurna. Salah satu telingaku (telinga kanan) tidak bisa mendengar dengan baik gelombang suara yang masuk. Mungkin ada benteng Konstantinopel mini di sana yang mengahalangi gelombang suara masuk. Atau mungkin ada segerombolan makhluk yang sedang demo menagih janji perbaikan dari si empunya. Wallahualam. Tapi, ternyata masih banyak nikmat lain yang malah aku hilangkan syukurnya. Padahal itu juga nikmat yang tiada dua.
Betapa senja selalu membawa inspirasi. Saat senja mulai tanggal, aku hanya lah manusia yang tak berasa. Tapi, berkat jingga yang Tuhan hamparkan kepada langit di kala senja, aku jadi perkasa berkata, perkasa menyulam asa, perkasa menangkis duka. Ya, aku mencintai senja yang dilukis Tuhan lewat wanra jingga yang mempesona, dengannya tetakdir Tuhan dapat kupetiki ibrahnya, dapat kugenggam ingin-Nya.
Betapa senja selalu mempesona. Walau jiwa tertimpa nestapa, senja akan selalu bisa jadi pengobat luka.
Kau lah senja, yang menjadi cinta bagi wanita yang kini telah perkasa.
End
Tangisannya terurai ke angkasa.
"Bercita-cita jadi pendengar padahal aku tidak bisa mendengar. Aku tak ubah seperti ingin memeluk bulan. Mustahil kumenggapainya."
Senja masih bungkam saat suaranya memekik kepada hamparan jingga yang mempesona. Buih pepasiran bergerombol terbawa deburan ombak. Langit pun masih tetap setia menjadi penyimak terbaik. Penyimak terbaik untuk kisah-kisah pilu wanita yang keperihan.
"Kau tidak akan mungkin dapat merasakan, bagaimana jadi orang seperti aku. Didengarkan saat bercerita tapi tak bisa mendengar saat orang lain bercerita. Kau tidak akan pernah tau rasanya. Sebab kau hanya senja yang selalu dipuja."
Lagi, air mata kepedihannya tumpah ruah bersamaan dengan deburan ombak yang mendobrak. Segukannya kian mencekam. Tapi senja hanya terud bungkam. Tak ada jawaban dan mungkin wanita itu memang tidak membutuhkan jawaban.
Jemarinya menyentuh pepasiran yang basah. Tangisannya terhenti. Wanita dengan selendang berwarna putih bersih itu mendongkakan wajahnya kepada hamparan samudera yang biru. Tak dapati batas dari pandangannya. Ia hanya melihat ujung laut yang seakan menempel dengan awan, dengan matahari.
Ia terdiam beberapa detik. Menghela nafas agak dalam. Tatapannya tak lepas dari langit yang menempel kepada samudera biru. Betapa indahnya lansekap bersenja di dekat samudera. Kau seakan menjadi kecil dan bahkan tiada berarti dibanding samudera dan langit yang terhampar. Kau bahkan tak pernah sepadan dengan sebundar matahari yang raksasa. Dan, bahkan kau tidak akan pernah sampai kala kau memutuskan menghitung jumlah buih pepasir di pantai. Kau takan mammpu melakukannya. Ah, betapa kecilnya aku ini. Tapi, seakan aku lah yang paling hina dan sengsara saat satu butir kenikmatan hampir dicopot Ilahi dari pangkuanku. Padahal, itu milik Dia yang punya semesta. Bodohnya aku belum bisa menjaga titipan-Nya dengan sempurna. Habis hipang sesal baru tiba. Tapi, apa artinya penyesalan ini jika kuhitung nikmat lain yang masih kupegang? Bahkan saat kedua mataku tengah terjebak dalam sebuah orkestra alam yang begitu indah, adalah kenikmatan yang harusnya kusyukuri. Betul, aku memang kehilangan nikmat mendengar dengan sempurna. Salah satu telingaku (telinga kanan) tidak bisa mendengar dengan baik gelombang suara yang masuk. Mungkin ada benteng Konstantinopel mini di sana yang mengahalangi gelombang suara masuk. Atau mungkin ada segerombolan makhluk yang sedang demo menagih janji perbaikan dari si empunya. Wallahualam. Tapi, ternyata masih banyak nikmat lain yang malah aku hilangkan syukurnya. Padahal itu juga nikmat yang tiada dua.
Betapa senja selalu membawa inspirasi. Saat senja mulai tanggal, aku hanya lah manusia yang tak berasa. Tapi, berkat jingga yang Tuhan hamparkan kepada langit di kala senja, aku jadi perkasa berkata, perkasa menyulam asa, perkasa menangkis duka. Ya, aku mencintai senja yang dilukis Tuhan lewat wanra jingga yang mempesona, dengannya tetakdir Tuhan dapat kupetiki ibrahnya, dapat kugenggam ingin-Nya.
Betapa senja selalu mempesona. Walau jiwa tertimpa nestapa, senja akan selalu bisa jadi pengobat luka.
Kau lah senja, yang menjadi cinta bagi wanita yang kini telah perkasa.
End
Comments
Post a Comment