Skip to main content

Lima Kenangan yang Tak Usang

Saya yakin, dari jumlah total ingatan memori di otak kita, ada dua puluh persen kenangan masa kecil kita yang tidak digoyahkan waktu. Wah, hebat banget kalau kita masih menyimpan memori masa kecil yang penuh dengan keceriaan, kelucuan, dan keluguan itu, ya! Sebab, saya juga yakin kita takan pernah dapat mengalaminya lagi saat sudah beranjak dewasa. 

Sebenarnya saya adalah si pelupa hebat. Tapi, Allah selalu punya cara tersendiri untuk mengingatkan saya pada memori masa kecil yang sangat manis tersebut. Kalau dipikir-pikir, saya yakin anak saya gakan ngalamin apa uang pernah saya alamin ini. Wkwk. 

Ada lima memori masa kecil saya yang ingin saya bagikan di sini. Kenangan masa kecil yang sungguh sangat berkesan dalam kehidupan saya. Saya kumpulkan dari berbagai sumber. Salah satu sumber terpercayanya adalah seorang teman yang juga ikut berperan ngalamin kejadian tersebut, he. Dari pada lelah baca prolognya, langsung aja kita baca!

1) Sekolah MDA di Baitul Hamdi
 Menjadi seorang murid SMP kelas satu emang nanggung, ya. Dikatain anak SD bukan, tapi sikap dan perilaku masih bau bocah SD. Dan, disebut anak SMP yang lumayan udah dewasa juga masih jauh. Alamak. 
Saat duduk di bangku SMP kelas satu, saya sekolah MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah)  di kampung tetangga. Sebenarnya di kampung sendiri juga ada sekolah gituan, saya nyebutnya "Sekolah Agama", tapi karena kekurangan modal sekolahnya jarang dibuka dan muridnya pun gak ada yang minat buat sekolah sore kalau tanpa iming-iming kue semrpong, wkwk. Ya sudah, akhirnya saya ikut sekolah MDA di kampung orang yang lumayan rada stabil. Stabil ngajarnya dan fasilitasnya bagus walau sekolah tersebut gak mungut biaya alias gratis. 
Saya kenal sekolah itu sebab ditawari (kalau tidak salah) oleh kawan sekelas yang juga kawan genk Kejora #halah! Saya lupa asal usulnya sampai akhirnya saya dan kawan sekampung terdampar di sekolah tersebut. 
Untuk mencapai sekolah tersebut, saya harus jalan kaki melewati sawah dan sungai. Awalnya, banyak sekali anak-anak dari kampung saya yang ikut bersekolah di sana, tapi terseleksi oleh alam, sehingga hanya tersisa saya dan teman kecil saya. 
Hari demi hari kami lewati bersama. Berdua saja. Pulang dari sekolah pukul dua belas, sampai rumah makan dan salat zuhur, setelah itu berangkat lagi menuju kampung tetangga. Setiap hari seperti itu. Jarak kampung saya dan kampung sekolah MDA saya lumayan cukup jauh, yakni satu kilometer. Kalau cuaca panas, ya panas. Kalau hujan, ya kami kehujanan. Tapi, setiap hari dilewatin dengan keseruan. Sebab, sambil cerita ngalor ngidul kamana mendi, hihi. Gak jarang, pas nyampe sekolah baju udah basah sama keringet, celana kotor kena lumpur, atau basah soalnya lewatin sungai. Keren, ya. 
Perjuangan yang sangat keren untuk ukuran anak seusia saya. Walau kondisi badan kayak gitu, kami tetap pede belajar. Sempat ada kawan dari kampung lain yang juga sekolah di situ nyeletuk, "Ih, bau keringat", saya hanya nyengir sebab ya mau nyanggah juga gak bisa. Heu.

Perjuangan dua gadis cilik itu ternyata dilirik juga oleh ustaz pengajar di sana. Baitul Hamdi sebenarnya sebuah yayasan yang didirikan oleh seorang Bunda Neng (kami menyebutnya begitu) bergerak di bidang pendidikan yang berbasis bisnis. Semacam pondok pesantren bagi mahasiswa. Jadi, pengajar di sana juga ada Kakak-kakak dari pondok. Mereka kagum pada perjuangan kami. Walau hujan badai, kami selalu tepat waktu masuk sekolah. Kekaguman itu mereka buktikan dengan tindakan nyata. Mereka main ke rumah dan menyemangati kedua orang tua, agar terus memotivasi kami untuk belajar. Jujur, kami sangat malu. Sebab, mereka segitunya amat, sampai nyari-nyari rumah kami, padahal mereka gak tau sama sekali. Hihi. Dan parahnya lagi adalah kami bertemu mereka di jalan! Begini ceritanya. 
Jalan menuju sekolah MDA saya itu kan dibatasi oleh sawah yang luas, sungai yang cukup panjang, dan juga hutan yang ruyuk. Namanya juga sawah, otomatis pasti dia punya aliran air, kan? Nah, saat Pak Ade dan Kak Adul sedang berjalan di atas petakan sawah, mereka mendengar ketawa ketiwi gadis kecil dari bawah. Pas mereka tengok, #lol ternyata murid-muridnya lagi asyik basah-basahan nangkepin ikan di susukan, hadeuh, wkwk. Kami shocked berat dan mereka pun tampaknya kaget setengah hidup. Kami diajak pulang bareng, tapi karena acara nangkep ikan itu jauh lebih seru dan menantang, ajakan kedua sejoli itu pun kami tolak. Penolakan itu mungkin juga disebabkan karena kami tidak siap jika harus bercengkrama bersama guru di rumah sendiri, iw, maluuu. Huhu. Mungkin saya saja kali, ya. Hehe. 

Lain cerita kalau sawah lagi dipenuhi padi muda. Tangan mungil kami asyik sepanjang jalan menindas-nindasi biji padi yang masih muda. Sampai tangan itu putih gegara kegiatan yang tidak disadari itu. Kalau ketauan sama yang punya padinya, entah gimana, deh, hahaha. Kayaknya bakalan ditakol sama cinta #eh. Sebab, emang itu padi jadinya pada kosong gak ada isian. Huhu, ampun ya Rabb.

Kisah paling dahsyat dan yahutnya dari kisah bersekolah di Baitul Hamdi ini adalah saat sore itu kami bertiga (alhamdulilah, saat itu temanku ada yang baru pindahan, jadi dia ikut sekolah bareng) pulang. Cuaca lagi buruk-buruknya. Kilat dan petir bersahutan pating jeleger. Angin plus hujan juga memperburuk cuaca sore itu. Kami pulang dalam kondisi ketakutan. Apalagi melewati sawah, yang katanya daerah rawan tersambar petir. Saya sulit menggambarkan perasaan saat itu, pokoknya perasaan kami saat itu sangat takut! Takut kesamber gledek. Kami berjalan dengan cepat, sambil mulut komat kamit tiada henti. Mau berhenti nanggung, tidak ada pula tempat untuk berhenti. Kata Emak, kalau ada petir di jalan, jangan sekai-kali berteduh di saung yang posisinya ada di tengah sawah, bahaya, begitu kata Emak, dan menghujam sekali dalam benak. Alhasil, setiap kali ada kilat dan disusul petir, kami menjerit dan berpelukan. Lalu lanjut berjalan lagi sambil terus komat kamit membaca tahmid dan salawat. Jalan pun digasss. Walau kaki kotor, ngejubrus ke lumpur atau ke susukan juga kagak peduli, asal bisa cepat nyampe kampung aja itu lah target utama kami. Alhamdulilah petak-petak rumah sudah nampak, hati kami bahagia sekali, serius, deh. Eh, tapi ternyata saat kebahagiaan itu baru kami mau ketjup, Allah kirimkan juga petir yang gudeee banget, "Jelegeeer!" Huaaaaah! Sontak, kami menjerit sekencang-kencangnya. Saking takut plus kagetnya, kami pun tikusruk ke sebuah lobang yang biasanya dialiri air. Cukup dalam lobang itu. Di dalamnya, kami tumpang tindih gak jelas, disusul malah ketawa terbahak-bahak dambil nangis. MasyaAllah, pengalaman syuperrr saya sama teman-teman. Syupernya Om Marip juga kalah kayaknya #ehem. Wkwk. Benar-benar perasaan yang campur aduk jadi satu. Tapi, alhamdulilah Allah masih menyelamatkan kami. Saya yakin Allah akan selalu melindungi hamba-Nya yang sedang menuntut ilmu, apalagi ilmu agama!

Pengalaman syuper greget, Gais! Cocok banget kalau dibuat sekuelnya #halah! Kalau diingat-ingat masa itu, memang amazing banget, ya! Bahasa Sundanya mah kelaaarrr. Hehe. Cerita di Baitul Hamdi, selesai. Next cerita di ...

2) Kegiatan Sepulang Sekolah
Perjalanan dari sekolah ke rumah yang ditempuh dengan jalan kaki emang ngasih sensasi sendiri. Setiap kali pulang, tuh selaluuu saja ada mampir-mampirnya. Dan, kegiatan yang sering bikin gak mau pulang itu adalah ngala lauk. Kampung saya walau namanya Cisaat (Airnya surut), aslinya mah subur, Gais! Di sepanjang jalan itu ada sungai, biasanya dipakai untuk pemandian kerbau, motor, atau bocah yang pada pengen berenang. Tidak hanya itu, aliran sungai juga ada. Wah, pokoknya kalau diguyur hujan itu pasti meluap. 
Nah, aliran air dari sawah itu mengalir di sepanjang jalan pulang. Jangan kaget, di situ banyak ikannya, Gais! Wajar kalau suka khilaf untuk pulang. Kita sering lupa waktu kalau udah nyentuh air plus dapat hasil (ikan parai). 
Pulang sekolah itu kami isi dengan nangkep ikan di susukan (sebut saja namanya susukan). Ikan-ikannya memang kecil jadi agak sulit buat ditangkap. Walau kesal gak dapet-dapet, tetap aja lanjut. Sampai dur asar, kami masih asyik sama aktivitas itu. Hasilnya juga lumayan, eiy. Dapat sesair, ahaha. Gak nunggu waktu lama, setelah itu langsung berakhir dipenggorengan di rumah Nobita, hihi. Lapar, dua jam udah nangkep ikan, langsung diisi sama nasi dan ikan tangkapan sendiri, kelar idup, ya! Keren banget. Kalau nanya itu susukan masih ada apa enggak, jangan kaget, ya! Jawabannya, sekarang mah udah jadi rumah. Heu. Emang, ya. Beda zaman beda lagi kelakuannya. Sekarang mah anak SD aja udah kayak anak SMP (apa cuman di mata eikeu aja?) he. Dan, anak SMP udah kayak anak SMA walau gak jarang wajah anak SMA juga ada yang bayi. Hehe.

Gaya banget judulnya "Lima Kenangan", ya. Dua aja udah ngos-ngosan. Hihi. Baik lah, saya ganti, nanti. Hehe. Baru bisa segitu. Sisanya masih digali, nih. Mohon bersabar. 😊

Kalau boleh berandai, rasanya pengen, deh balik lagi ke masa itu. Masa yang sangat lucu. Kehidupan tanpa beban. Bebas. Subhanallah. Saya jadi inget, deh kenangan-kenangan yang lainnya. But wait, saya tetap harus mengakhiri perbincangan indah ini. Uhhh, kalau liat video ulangannya asyik, nih. Cuman Allah yang punya videonya, euy. Gak bisa dipinta. Haduh, harus nunggu masa ntar. Lagi-lagi, mohon bersabar. Hehe.

Comments

Popular posts from this blog

Housewife Vs Homemaker

Housewife vs Homemaker? Apa ini? Dalam Bahasa Inggris, profesi IRT alias Ibu Rumah Tangga biasa disebut housewife . Karena ilmu bahasa Inggris saya nihil, jadi saya gak tau kenapa orang Inggris menamakan IRT itu dengan sebutan housewife ? Sebuah kata yang terdiri dari dua suku kata, "rumah" dan "istri". Kalau dibolehin untuk ngasih opini dari kelas sudra saya, mungkin maksudnya adalah seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah. Wah, keren. Lebih lengkapnya bisa mungkin cari di kamus EOD, Gais. Daripada penasaran, hehe. Gak salah memang kalau seorang IRT diartikan sebagai seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah, sebab memang begitu lah kenyataan yang sering terjadi di masyarakat. Namun, karena bahasa punya sifat inovatif, di mana dia bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, bisa jadi kosakata housewife  dapat digantikan perannya menjadi homemaker . Wah, apa itu? Istilah homemaker  tercetu

Belajar Bahasa Jepang Sehari-hari

Di Rumah Orang Jepang biasanya sesaat setelah mereka bangun pagi, akan langsung menyapa keluarganya. Dengan ucapan selamat pagi, "Ohayou" . Mereka akan saling mendahului untuk menyapa dengan ucapan ini. Mari kita mulai percakapannya! Sakura : "Ohayou" Okaasan : "Ohayou" Otousan : "Ohayou" Kenta (Imouto) : "Ohayou" Sakura : Hayaku okiru ne, Kenta ha." Okaasan : "Sou ne. Kyou otona ni nattakara ne." Kenta : "Nande sore. Kyou shiken ga attakara." Otousan : " Yoku ganbatte ne . Jaa, ikanakya. Ittekimasu . " Okaasan : "A, itterashai ." Kenta to Sakura : " Itterashai ." Terjemahan Sakura : "Pagi." Ibu : "Pagi." Ayah : "Pagi" Kenta (adik laki-laki) : "Pagi." Sakura : "Kenta bangunnya cepet ya." Ibu : "Iya ya. Karena sekarang ma udah gede." Kenta : "Apaan sih. Aku bangun cepet karena ada ujian hari in

Asmaul Husna*

Saat mendengarkan iklan di radio MQ FM, saya terkesan oleh salah satu lagu di dalamnya. Lagu itu menyanyikan 99 nama-nama Allah yang baik dan agung, yakni Asmaul Husna. Lalu sadar kalau laguitu sangat menyentuh hati saya, saya buru-buru merekamnya. Dan lalu saya menangis ketika mendengarkannya. Alhamdulilah. Sudah dua minggu semnejak saya mendapatkan lagu baik itu. Lalu saya ingin sekali mengikuti lagu tersebut. Namun saya terbatas karena belum hafal lirik lagunya. Dengan beberapa kali mendengarkan lagu itu, saya pun menulis liriknya yang semoga sesuai dengan lagu tersebut. Saya masih belum tahu siapa gerangan sang biduannya. Mungkinkah Sami Yusuf? Hemm. Siapapun dia, semoga Allah menjaganya dengan sebaik-baik perlindungan ^^ Bdw, ini lanngsung saja saya lampirkan liriknya. Siapa tahu kalian sudah  punya lagunya tapi belum tahu liriknya. Hehe. Mari kita sharing . Yang bisa nyanyiin lagunya, ayo nyanyikan! Ya Allah...4x Ya Allah...4x Allahu antal malikul quddus... Wal jabbarul