Taken by Google |
Saat mudik kemarin ke Pandeglang, saya menemukan sekelumit kisah yang mensponsori lahirnya tulisan ini. Amat menyentuh sehingga saya seketika berurai air mata dan berdoa, mudah-mudahan saya dapat seperti mereka.
Ceritanya, siang itu saya masih di dalam bus jurusan X (kali) Deres-Labuan. Dan si bus baru sampai di Saketi, ke rumah saya sekitar tiga puluh menitan lagi. Sopir bus sepertinya berhenti sebab mau mengisi bensin terlebih dahulu, tapi entah kenapa tiba-tiba ada seorang ibu-ibu tua renta turun sambil membungkuk -sepertinya dia memang bungkuk badannya- dan berjalan turun sambil menyasar besi pegangan yang ada di dekat pintu. Saya kira memang dia mau turun, tapi seorang kakek di belakang berteriak memanggil-manggilnya.
"Heh! Heh! Naeun turun! Ncan! Heh! Rek kamana!"
(Heh! Heh! Kenapa turun! Jangan turun dulu! Mau ke mana?)
Si Kakek berteriak kencang sambil ikut mengejar si Ibu yang sudah ada di bawah menyentuh aspal. Si Ibu tidak terlalu menghiraukan teriakan suaminya itu. Si Kakek sempat mengeluh, "Duh, capek!"
Hmmm. Sepertinya si Ibu yang sudah lumayan tua itu terkontaminasi kepikunan alias mengalami Alzheimer. Si Ibu pikun, sehingga dia turun padahal belum waktunya. Akhirnya si Bapak turun dan mengajak si Ibu kembali ke dalam bus. Si Ibu tetap dengan wajah polos dan -maaf- melongo. Dia duduk kembali tepat di jok dekat pintu ke luar bus. Dan, si Kakek segera menemaninya. Takut-takut dia turun lagi di jalan tanpa pengawasan darinya. Saya tidak tau mereka turun di mana. Sebab, saat saya turun dari bus, mereka masih belum juga menunjukan akan turun. Berarti benar, tujuan mereka masih sangat jauh. Mungkin mereka akan berhenti di halte paling akhir, di Labuan.
Melihat kejadian tadi, tanpa permisi, air mata saya bercucuran. Hati saya bertahmid memuji-Nya. Ya Allah, betapa indahnya melihat mereka, betapa hebatnya mereka. Si Kakek, yang masih mau menerima kekurangan si Ibu yang terkena Alzheimer. Si Ibu juga sabar dibentak-bentak begitu. Ditambah beliau mungkin sudah tidak ingat lagi siapa suaminya, kenangan indah masa pernikahannya dulu, dan macam-macam kenangan yang telah mereka lalui bersama. Huuuu. Si Kakek, walau dengan keluhan -fitrah laki-laki memang, ya, kurang bersabar kalau disuruh ngasuh, hehe, ampun, Bro!- ia tetap menjalaninya dengan sabar. Saya yakin Kakek itu repotnya dua kali menemukan istrinya pikun, tapi dia tidak meninggalkannya dan tetap membersamainya.
Saya terharu dan masyaAllah, saya ingin sekali mendapatkan secuil takdir yang elok macam mereka. Dapat membersamai kawan hidup saya sampai usia senja. Tidak ada yang pergi atau meninggalkan. Saat ada masalah kami berlomba siapa yang paling bisa mengalah dan siapa yang paling mulia dengan meminta maaf duluan. Subhanallah, betapa itu merupakan mimpi tertinggi semua pasutri di dunia kayaknya, wkwk.
Tentunya The Marriage Goal ini saya yakin bukan dengan mudah didapat. Kedua orang tua itu sungguh hebat. Sebenarnya mereka lah Maha Guru. Saya yakin pengalaman mereka sangat buanyak sekali dalam mengahdapi situasi paling sulit dalam pernikahan mereka. Sebaik-baik guru adalah pengalaman *noted.
Benar adanya kalau pernikahan itu sangat indah dan amat indah jika kita sudah punya ilmunya. Sejatinya ilmu terhebat adalah ilmu mengalah *katanya, sih gitu. Mungkin mereka punya ilmu mengalah tingkat dewa, he. Mudah-mudahan siapa pun yang membaca ini diberi kemampuan oleh Allah skill mengalah untuk kebaikan bukan untuk keburukan.
Dan mudah-mudahan mereka sakinah,mawadah, warahmah until jannah, biar makin 'dapet' The Marriage Goal-nya. Terimakasih, Cikgu! Sudah memberikan ilmunya. Sejatinya semua kejadian dan peristiwa mengandung ilmu dan hikmah yang perlu diolah dengan berpikir. Dan wajib diawetkan lewat tulisan, hehehe. Syudah dulu, ya. Bhay!
Comments
Post a Comment