"Om telolet om!"
Begitu teriakan anak-anak di sepanjang perjalanan pulang mudik kemarin. Anak-anak di jalanan berkumpul, setiap ada bus lewat mereka berteriak lantang, "Om telolet om!" #Indonesia
Kepulangan kemarin memang tidak sedikit menyisakan kisah-kisah lucu yang membuat perut bergoyang-goyang #eh. Nah, salah satu kisah yang paling kocak (versiku) adalah tentang seorang sopir bus yang kutemui saat aku mau kembali ke Bintaro.
Pagi itu aku naik bus Murni berwarna merah campur putih. Awalnya malas sekali naik mobil Murni, sebab sopirnya doyan sekali ugal-ugalan demi ngejar setoran. Ditambah kondekturnya suka semena-mena sama kaum ploletar #halah. Gak, maksudnya mereka suka semena-mena kalau nagih ongkos. Muahal! Aku lebih rela menunggu mobil bus Asli walau lama. Bus Asli lebih kalem dan tenang. Kondekturnya juga gak 'rusuh' kalau nagih ongkos. Pokokek uadem, Mas #lho. Tapi, Bapak melarangku memilih-milih bus. Menurutnya, kalau takdirnya celaka mungkin gak akan pilih-pilih di bus mana kita akan celaka. Yowes, aku nurut perintah Bapak. Dan aku naik bus Murni yang datang lebih cepat.
Bangku masih banyak yang kosong saat aku naik. Ya sudah, aku memilih duduk di belakang sopir, agar dapat lebih jelas melihat pemandangan jalan. Padahal, kalau menurut penerawangan guru Fisika SMA-ku dulu, idealnya tempat duduk yang paling 'save' itu di tengah-tengah. Kalau terjadi kecelakaan insyaAlah mereka yang duduk di tengah aman *katanya. Wallahua'lam.
Duduk di belakang sopir membuat aku dapat melihat kelakuan si sopir dengan jelas. Uuuuuh, betapa jengkelnya aku ketika melihat kenyataan bahwa dia nyetir sambil mainin hape. Hapenya setiap sepuluh detik sekali berbunyi, lalu dia nelepon sambil nyetir. Ya Allah, nafasku naik turun kusabab jengkel sampai ubun-ubun. Rupa-rupanya itu telepon dari sesama sopir bus Murni, memberitahukan posisi mereka di mana, kudu cepat atau lambat, dll, aku gak paham detailnya. Masih aku maafkan. Dia juga kayaknya paham benar kalau nyetir sambil main hape itu gak begitu baik, akhirnya gas bus sedikit dipelankan. Ok, fine.Nafasku normal lagi.
Di tengah perjalanan (yakni di Serang), dia makin menjadi, membalas SMS! Ya Allah ... Panjang pulak SMS yang dia ketik. Gustiii nu agung! Bergolak-golak sudah emosi di jiwaku. Dan, dia adem ayem aja. Sedih, takut, dan pasrah pas lia si sopir kayak begitu. Saat hampir memasuki tol, dalang di balik telepon si sopir bus Murni yang kunaiki bertemu. Entah kenapa si Mr. X ini membuat bus Murni yang kunaiki kesal. Dengan agak sedikit jengkel dia melewatinya. Walau sambil menggerutu kesal sebab 'jalan' untuk lewatnya dihalangi, alhamdulilah dia gak lagi main hape.
Sesaat setelah melewati 'kawannya' itu, dia menggerutukan kekesalannya dengan logat dan bahasa Sunda Banten yang ... alamak! aku rindukan.
"Ih, si Sadiman mah polongo. Pecak torek si eta mah. Bangkawarah.."
(Ih, si Sadiman bodoh. Buta tuli dia. Menyebalkan sekali dia)
Hmmm, jadi dalangnya adalah si Sadiman, si sopir bus yang tadi menghalangi jalannya. Bener-bener emang kau Sadiman, ya. Kayaknya ada persaingan di antara mereka. Sadiman nyuruh si sopir bus Murni yang kutaiki untuk cepat dan lambat. Dia juga yang nyuruh begini begitu, tapi pada kenyataannya Sadiman sendiri yang menyalahinya, mungkin begitu lah alur cerita si sopir dan si Sadiman yang tadi ramai menelepon dan menghubungi sopir bus Murni yang kutumpangi.
Kalau saja ada my best partner in crime (Nobit -my chilhood friend-) pasti nambah kocak saat dia menggerutui Sadiman. Si Nobit pasti nyeramarahin si Sadiman dengan bahasa Sunda Banten yang jauh lebih kocak. Ngebayanginnya aja aku udah terpingkal-pingkal sendiri di belakang sopir. Ya Allah, Sadiman, Sadiman, ada ada aja.
Aku ingat tulisan yang menempel di mobil Kanaya Trave yang kunaiki pas rihlahl, "HP-SMS-Maut", beeeuh quote-nya singkat tapi nuzuk, he. Luar biasa. Apa perlu kutempel di dekat si Sadiman dan sopir bus Murni lainnya? Bagaimana, Sadiman? #Eh
Hmmm, itu lah sekelumit kisah perjalanan mudikku kemarin. Well, pasti 'apa banget' dah ini tulisan. Whatever, I don't care. :D
Begitu teriakan anak-anak di sepanjang perjalanan pulang mudik kemarin. Anak-anak di jalanan berkumpul, setiap ada bus lewat mereka berteriak lantang, "Om telolet om!" #Indonesia
Kepulangan kemarin memang tidak sedikit menyisakan kisah-kisah lucu yang membuat perut bergoyang-goyang #eh. Nah, salah satu kisah yang paling kocak (versiku) adalah tentang seorang sopir bus yang kutemui saat aku mau kembali ke Bintaro.
Pagi itu aku naik bus Murni berwarna merah campur putih. Awalnya malas sekali naik mobil Murni, sebab sopirnya doyan sekali ugal-ugalan demi ngejar setoran. Ditambah kondekturnya suka semena-mena sama kaum ploletar #halah. Gak, maksudnya mereka suka semena-mena kalau nagih ongkos. Muahal! Aku lebih rela menunggu mobil bus Asli walau lama. Bus Asli lebih kalem dan tenang. Kondekturnya juga gak 'rusuh' kalau nagih ongkos. Pokokek uadem, Mas #lho. Tapi, Bapak melarangku memilih-milih bus. Menurutnya, kalau takdirnya celaka mungkin gak akan pilih-pilih di bus mana kita akan celaka. Yowes, aku nurut perintah Bapak. Dan aku naik bus Murni yang datang lebih cepat.
Bangku masih banyak yang kosong saat aku naik. Ya sudah, aku memilih duduk di belakang sopir, agar dapat lebih jelas melihat pemandangan jalan. Padahal, kalau menurut penerawangan guru Fisika SMA-ku dulu, idealnya tempat duduk yang paling 'save' itu di tengah-tengah. Kalau terjadi kecelakaan insyaAlah mereka yang duduk di tengah aman *katanya. Wallahua'lam.
Duduk di belakang sopir membuat aku dapat melihat kelakuan si sopir dengan jelas. Uuuuuh, betapa jengkelnya aku ketika melihat kenyataan bahwa dia nyetir sambil mainin hape. Hapenya setiap sepuluh detik sekali berbunyi, lalu dia nelepon sambil nyetir. Ya Allah, nafasku naik turun kusabab jengkel sampai ubun-ubun. Rupa-rupanya itu telepon dari sesama sopir bus Murni, memberitahukan posisi mereka di mana, kudu cepat atau lambat, dll, aku gak paham detailnya. Masih aku maafkan. Dia juga kayaknya paham benar kalau nyetir sambil main hape itu gak begitu baik, akhirnya gas bus sedikit dipelankan. Ok, fine.Nafasku normal lagi.
Di tengah perjalanan (yakni di Serang), dia makin menjadi, membalas SMS! Ya Allah ... Panjang pulak SMS yang dia ketik. Gustiii nu agung! Bergolak-golak sudah emosi di jiwaku. Dan, dia adem ayem aja. Sedih, takut, dan pasrah pas lia si sopir kayak begitu. Saat hampir memasuki tol, dalang di balik telepon si sopir bus Murni yang kunaiki bertemu. Entah kenapa si Mr. X ini membuat bus Murni yang kunaiki kesal. Dengan agak sedikit jengkel dia melewatinya. Walau sambil menggerutu kesal sebab 'jalan' untuk lewatnya dihalangi, alhamdulilah dia gak lagi main hape.
Sesaat setelah melewati 'kawannya' itu, dia menggerutukan kekesalannya dengan logat dan bahasa Sunda Banten yang ... alamak! aku rindukan.
"Ih, si Sadiman mah polongo. Pecak torek si eta mah. Bangkawarah.."
(Ih, si Sadiman bodoh. Buta tuli dia. Menyebalkan sekali dia)
Hmmm, jadi dalangnya adalah si Sadiman, si sopir bus yang tadi menghalangi jalannya. Bener-bener emang kau Sadiman, ya. Kayaknya ada persaingan di antara mereka. Sadiman nyuruh si sopir bus Murni yang kutaiki untuk cepat dan lambat. Dia juga yang nyuruh begini begitu, tapi pada kenyataannya Sadiman sendiri yang menyalahinya, mungkin begitu lah alur cerita si sopir dan si Sadiman yang tadi ramai menelepon dan menghubungi sopir bus Murni yang kutumpangi.
Kalau saja ada my best partner in crime (Nobit -my chilhood friend-) pasti nambah kocak saat dia menggerutui Sadiman. Si Nobit pasti nyeramarahin si Sadiman dengan bahasa Sunda Banten yang jauh lebih kocak. Ngebayanginnya aja aku udah terpingkal-pingkal sendiri di belakang sopir. Ya Allah, Sadiman, Sadiman, ada ada aja.
Aku ingat tulisan yang menempel di mobil Kanaya Trave yang kunaiki pas rihlahl, "HP-SMS-Maut", beeeuh quote-nya singkat tapi nuzuk, he. Luar biasa. Apa perlu kutempel di dekat si Sadiman dan sopir bus Murni lainnya? Bagaimana, Sadiman? #Eh
Hmmm, itu lah sekelumit kisah perjalanan mudikku kemarin. Well, pasti 'apa banget' dah ini tulisan. Whatever, I don't care. :D
Comments
Post a Comment