Daun-daun mapel dengan anggun berjatuhan setelah sehembus angin menyapa. Kursi panjang yang berjejer dari utara ke selatan pun tak luput menjadi sasaran empuk daun mapel untuk mendarat. Kini, kursi hitam yang selalu diduduki burung-burung merpati itu seolah warnanya berubah menjadi oranye kecoklatan.
Shine membuka sedikit syal tebal berwarna cokelat tua yang menutupi mulut dan hidungnya. Angin dingin musim gugur sesekali masih datang menggoyangkan kerudung yang dipakainya. Dan meninggalkan kesunyian. Shine mulai membuka sedikit demi sedikit amplop cokelat berpita merah yang sedari tadi dipegangnya. Ia menengadah ke langit sambil menghela nafas panjang, berharap jantungnya punya persediaan oksigen saat isi amplop cokelat itu terbentang di depan matanya.
Shine sadar, ini bukan hal mudah, namun Shine sudah siap menerima apapun. Shine memuji dirinya, "Aku hebat. Ayo, Shine kutau kau mampu."
------------------------------
Melihat sosoknya adalah rindu yang tak mampu dibendung. Bahkan, kalau pun hanya menatap punggung besarnya dari kejauhan, jiwanya bahagia tiada tara. Hati mendung bisa jadi bersenandung.
Shine bertahan mencintai dalam kegelapan, dalam kesendirian, dari kejauhan. Hanya dengan jemari-jemarinya yang berbinar, Shine berceloteh tanpa ampun membicarakan bintang kebahagiaannya kala malam telah berhasil mengusir siang.
Tentangnya, adalah rasa bahagia yang membuncah. Dendam, kepedihan, dan luka menganga yang mengelupasi kekuatan jiwanya terbasuh rasa cinta dalam diam kepadanya.
Lam, lelaki bertubuh tinggi besar keturunan Pakistan-Amerika itu adalah bintang yang memberi kekuatan bagi Shine. Teman sejak kecil Shine. Teman yang sampai saat ini tak pernah tau perasaan Shine. Teman yang tak pernah hilang kala Shine terhimpit, tersiksa, terjebak pertengkaran orang tuanya.
Lam selalu datang mengetuk jendela kamar Shine. Dengan wajah ceria, Lam berpantonim menghibur Shine. Selalu begitu. Sampai Shine harus menemukan kesunyian saat hatinya redup. Tak ada lagi wajah jenaka berpantonim di jendela kamarnya. Hanya ada dedaunan yang lesu. Selesu jiwanya.
Shine sadar, ia tampak salah selama ini. Kesalahan terbesarnya adalah tak pernah melakukan hal yang sama manakala Lam bersedih. Tapi, kapan Lam bersedih? Shine tak pernah tau. Lam selalu tampak bahagia. Wajah cerianya selalu hadir kala bertemu dengan Shine. Kepedihan mendalam di ruang batinnya tak pernah tampak. Lam selalu menyembunyikannya. Bahkan kepada ibu dan adik-adiknya.
------------------------------
Shine tersadar, sudah terlalu lama dia mengingat masa lalu. Lampu jalanan sudah menyala. Angin semakin menusuk. Shine bergegas menuju mobil. Amplop yang sedari tadi dipegangnya masih rapi. Shine paham benar, waktunya hanya tinggal beberapa jam lagi di tempat ini sebelum ia harus take off ke bandara. Shine memutuskan membukanya di mobil, di bawah papan nama jalan yang sangat disukai Lam. Walau tidak di tempat yang jauh lebih disukai Lam yakni di bawah pohon mapel tua di seberang.
Shine menerima amplop itu dua minggu yang lalu. Ada yang mengirimkannya lewat pos. Tertulis di sana, Shine harus membukanya di 112th Street, saat daun mapel indah berguguran. Shine menghela nafas dalam-dalam. Ia mantap membuka amplop cokelat itu.
------------------------------
February, 2nd 2016
Rasanya aku ingin menghitung pasir di pantai, dengan menyebut namamu.
Kau adalah rindu yang selalu menjelma menjadi tangis.
Kau adalah rasa yang terbingkai nama indah.
Andai jiwa bisa kugenggam, akan kugenggam jemari berbinarmu bersama masa seumur hidupku.
Kau adalah gemintang yang mengemilaukan ruhku.
Ku mencintaimu.
February, 11st 2016
"Shine. I love you. Will you marry me?"
Shine berlari ke luar. Tangisannya sangat dalam.
"L a m ... why you're gone so fast?"
END
Comments
Post a Comment