Skip to main content

Mendidik = Estafet Ilmu

Taken by Google
Sebagai seorang mahasiswa keluaran universitas pendidikan, saya terpanggil untuk mengaplikasikan ilmu keguruan yang saya telah timba selama beberapa tahun ke belakang. Menjadi seorang pendidik bagi saya awalnya bukanlah pilihan utama. Kenapa? Karena menurut saya menjadi seorang guru itu tidak menyenangkan. Saya masih memandang profesi guru dengan satu sisi, belum sesempurna saat ini.

Saya mulai tertarik untuk menjadi seorang pendidik saat saya bekerja menjadi "kasir tiket" (begitu sebutan teman menyebalkan saya). Setiap hari, kerja saya menunggui orang memesan tiket, kalau tidak ada pelanggan ya tidak ada interaksi. Lalu entah kenapa saya merasa sangat stuck dengan kondisi semacam ini. Apa akan begini terus? Saya pun mulai mikir (jarang-jarang nih gue mikir) dan akhirnya saya memutuskan untuk keluar (bahasa kerennya resign). Selain rindu berkarung-karung kepada kedua orang tua, saya juga ingin mengaplikasikan ilmu yang sudah saya dapat selama kurang lebih empat setengah tahun. Nasehat emak saat pertama kali saya kerja terus terngiang-ngiang dalam benak saya, "Bagaimana pun caranya, ilmu itu harus diamalkan." Saya benar-benar ketakutan. Saya mencoba "mengaplikasikan" ilmu saya di tempat kerja. Mengobrol dengan nihonjin (orang Jepang) via inbox facebook. Tapi tak ada kelanjutan. Pasalnya orang yang saya ajak ngomong ini adalah seorang sensei (dosen) univeristas. Entah kenapa gaya keren saya di awal (SKSD garis keras) susut seiring saya ngobrol dengan dia. Memang ada teman kantor yang menyarankan saya untuk mencoba ambil terjemahan online. Saran beliau belum saya coba, karena beberapa hal seperti pekerjaan saya sendiri menguras pikiran (alah alesan, oke lupakan). Semoga sekarang saya bisa. Aamiin.

Berawal dari kebuntuan bagaimana cara mengamalkan ilmu yang sudah ada di tangan ini, lantas saya memutuskan untuk memilih profesi sebagai pendidik. Profesi yang pas kuliah selalu jadi bahan olok-olok saya, "Aaaah jadi guru mah pilihan terakhir aja. Nanti aja kalo dah gak ada pekerjaan lain." Tapi kini profesi itu menjadi pilihan pertama saya selepas dari pekerjaan lama. 

Saya memilih menjadi pendidik, mengapa? Karena pertama, saya bisa mengestafetkan ilmu saya. Seperti sebuah ASI, jika ASI itu tidak disusukan kepada bayi, si ibu sendiri yang akan sakit. Ibu akan sehat jika ASI itu teratur diberikan kepada bayi. Sama halnya dengan ilmu, ilmu yang nempel di diri kita ini jika tidak disalurkan ke orang lain, kita sendiri yang akan mendapatkan petakanya. Seperti kehilangan ilmu tersebut. Sungguh menyeramkan! Ilmu yang dengan susah payah dicari hilang begitu saja tanpa ada orang yang menerima ilmu tersebut. Dengan mengajar dan menjadi pendidik, setidaknya kita menyelamatkan diri kita sendiri dari petaka kehilangan ilmu.

Salah satu alasan kenapa saya -dulu- tidak mau menjadi guru adalah karena saya melihat menjadi guru itu capek. Ternyata ada yang salah dengan diri saya dalam memandang seorang pendidik. Tapi kini saya memandang seorang pendidik sebagai seorang insan yang rela berlelah-lelah mencerdaskan anak orang lain. Selain itu menjadi seorang pendidik bagi saya -kini- adalah sebagai ajang estafet ilmu. Satu sisi saya sangat prihatin dengan kondisi pergaulan remaja saat ini, tapi di sisi lain saya belum terjun langsung untuk mencegah semua itu menjadi semakin buruk. Saya punya tekad, dengan menjadi guru saya ingin mengestafetkan "hobi" saya dan "pengalaman" saya dalam kerohanian. Nah ini yang masih menjadi PR besar bagi saya. Bagaimana caranya agar anak-anak didik saya nanti suka dan senang dengan hal-hal yang berbau kerohanian Islam, pencarian jati diri, dll. 

Saya pun teringat dengan salah satu perkataan murobbi saya -dulu- , saat saya masih aktif ikut mentoring di kampus. Saya tertegun sungguh amat tertegun sekaligus tersipu malu saat mentor saya bilang, "Harus ada Melin Melin yang lain." Saya terus teringat dengan ucapan beliau. Dan judul tulisan ini pun terinspirasi dari pernyataan mentor tersebut. Saya harus menjadi pribadi yang baik dulu, baik lagi, dan baik terus, hingga pantas ada pernyataan di atas, "Harus ada Melin Melin yang lain." Salah satu cara yang saya pilih untuk mewujudkan perkataan kakak mentor itu adalah dengan cara mendidik. Saya benar-benar ingin sekali mengestafetkan semua yang saya punya dan ketahui untuk bakal calon "Melin Melin yang lain", ya saya benar-benar harus melakukannya! Caranya? Dengan menjadi seorang pendidik terbaik.

Lalu alasan kedua kenapa saya menjadi pendidik adalah prospek pendidik ke depannya sangat bagus. Masa depan cerah (inshaaAllah), dan untuk seorang calon ibu rumah tangga (aamiin) profesi ini lumayan cocok. Kita masih bisa bekerja dan mengurus anak dan suami. Tapi tetap saja saat melihat kakak (yang notabene seorang guru) anaknya dititipkan ke emak. Dia hanya punya waktu sekian jam bersama anaknya. Saya sebenarnya ingin menjadi ibu total untuk anak. Tapi jika kelak suami saya tidak berkenan jika saya  melepaskan profesi saya, saya ikhlas-ikhlas saja. 

Bapak juga menyarankan saya untuk menjadi seorang guru. Tidak terkecuali emak. Kalo kedua orang ini sudah berbicara, saya tidak bisa mengelak lagi. Ridha Allah ada dalam ridha mereka. Saya sendiri tengah mencoba mencari celah dalam diri saya untuk benar-benar jatuh cinta pada dunia pendidikan. Meski mereka bukanlah seorang guru, tapi mereka juga memilliki pandangan yang sama dengan saya mengenai profesi ini untuk di masa depan. Jujur, nenek saya pun seorang guru. Almarhumah adalah seorang guru agama dan guru ngaji. Cita-cita terbesar saya adalah menjadi guru ngaji. Kemarin-kemarin sempat berkeinginan menjadi seorang guru agama, ingin seperti nenek. Tapi saya sadar, keilmuan saya bukan di situ. Saya lantas menyarankan pada diri saya sendiri untuk tetap punya keinginan itu tapi bukan untuk orang luas, melainkan untuk keluarga sendiri aja dulu, eheheh.

Kemudian, apa lagi alasannya? Saya rasa cukup hanya dua itu. Semoga memberikan pencerahan kepada siapa saja yang kini tengah berprofesi menjadi seorang guru honorer. Salam perjuangan. Mudah-mudahan pemikiran saya mampu diterima semua kalangan ;D

Akhir kata, saya ucapkan terimakasih karena sudah membaca. Dan tolong doakan saya, mudah-mudahan saya bisa menjadi seorang pendidik yang baik. Selamanya. Terutama untuk keluarga saya. Terimakasih.

Comments

Popular posts from this blog

Housewife Vs Homemaker

Housewife vs Homemaker? Apa ini? Dalam Bahasa Inggris, profesi IRT alias Ibu Rumah Tangga biasa disebut housewife . Karena ilmu bahasa Inggris saya nihil, jadi saya gak tau kenapa orang Inggris menamakan IRT itu dengan sebutan housewife ? Sebuah kata yang terdiri dari dua suku kata, "rumah" dan "istri". Kalau dibolehin untuk ngasih opini dari kelas sudra saya, mungkin maksudnya adalah seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah. Wah, keren. Lebih lengkapnya bisa mungkin cari di kamus EOD, Gais. Daripada penasaran, hehe. Gak salah memang kalau seorang IRT diartikan sebagai seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah, sebab memang begitu lah kenyataan yang sering terjadi di masyarakat. Namun, karena bahasa punya sifat inovatif, di mana dia bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, bisa jadi kosakata housewife  dapat digantikan perannya menjadi homemaker . Wah, apa itu? Istilah homemaker  tercetu

Belajar Bahasa Jepang Sehari-hari

Di Rumah Orang Jepang biasanya sesaat setelah mereka bangun pagi, akan langsung menyapa keluarganya. Dengan ucapan selamat pagi, "Ohayou" . Mereka akan saling mendahului untuk menyapa dengan ucapan ini. Mari kita mulai percakapannya! Sakura : "Ohayou" Okaasan : "Ohayou" Otousan : "Ohayou" Kenta (Imouto) : "Ohayou" Sakura : Hayaku okiru ne, Kenta ha." Okaasan : "Sou ne. Kyou otona ni nattakara ne." Kenta : "Nande sore. Kyou shiken ga attakara." Otousan : " Yoku ganbatte ne . Jaa, ikanakya. Ittekimasu . " Okaasan : "A, itterashai ." Kenta to Sakura : " Itterashai ." Terjemahan Sakura : "Pagi." Ibu : "Pagi." Ayah : "Pagi" Kenta (adik laki-laki) : "Pagi." Sakura : "Kenta bangunnya cepet ya." Ibu : "Iya ya. Karena sekarang ma udah gede." Kenta : "Apaan sih. Aku bangun cepet karena ada ujian hari in

Asmaul Husna*

Saat mendengarkan iklan di radio MQ FM, saya terkesan oleh salah satu lagu di dalamnya. Lagu itu menyanyikan 99 nama-nama Allah yang baik dan agung, yakni Asmaul Husna. Lalu sadar kalau laguitu sangat menyentuh hati saya, saya buru-buru merekamnya. Dan lalu saya menangis ketika mendengarkannya. Alhamdulilah. Sudah dua minggu semnejak saya mendapatkan lagu baik itu. Lalu saya ingin sekali mengikuti lagu tersebut. Namun saya terbatas karena belum hafal lirik lagunya. Dengan beberapa kali mendengarkan lagu itu, saya pun menulis liriknya yang semoga sesuai dengan lagu tersebut. Saya masih belum tahu siapa gerangan sang biduannya. Mungkinkah Sami Yusuf? Hemm. Siapapun dia, semoga Allah menjaganya dengan sebaik-baik perlindungan ^^ Bdw, ini lanngsung saja saya lampirkan liriknya. Siapa tahu kalian sudah  punya lagunya tapi belum tahu liriknya. Hehe. Mari kita sharing . Yang bisa nyanyiin lagunya, ayo nyanyikan! Ya Allah...4x Ya Allah...4x Allahu antal malikul quddus... Wal jabbarul