Skip to main content

Kekuatan Itu Bernama Mimpi

Taken by Google
Sebenarnya keluargaku bukanlah keluarga berada. Jika kalian ke rumah dan bertanya kamar kecil, pasti ibu dan aku akan tersenyum dan cepat menyuruh kalian numpang ke kamar kecil tetangga. Bukan tanpa alasan, tapi karena di rumah belum ada sumur apalagi kamar kecil. Ya. Keluargaku baru punya sumur kemarin-kemarin, saat aku hampir mau lulus kuliah.

Lalu, kalau kamu bertamu ke rumahku, jangan harap akan disuguhi berbagai macam buah-buahan atau makanan hasil kebon, karena satu batang pisang pun keluargaku tidak punya (dulu). Berbeda sekali saat aku bertamu ke rumah teman, suguhan yang aku terima banyak sekali, mulai dari manggis, duku, salak, rambutan, singkong rebus, dan lain-lain. Semuanya berasal dari kebon yang mereka punya. Bagi keluargaku, masa panen dan tidak sama saja, tak ada yang berbeda bagi kantong dan kepulan dapur, he. Meski begitu, Allah mencukupi semua kebutuhan aku dan keluarga, hingga kini.

Ya, jika melihat kondisi keluarga, memang sangat mustahil sekali bisa mengecap pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Tapi siapa yang bisa menghentikan keinginan Allah? Tidak ada yang bisa. Kalau Allah sudah berkehendak semua kesulitan tidak tampak.

Satu-satunya tulang punggung keluargaku adalah bapak. Sosok luar biasa yang tidak ada duanya. Seorang laki-laki kelahiran pulau Samosir 58 tahun yang lalu. Meski tampilan bapak tampak "seram" -menurut beberapa orang yang pertama kali melihat beliau- tetapi hatinya begitu baik dan penyayang. Dia bekerja keras banting tulang demi anak istrinya. Tidak mengenal panas atau hujan. Satu pemikiran bapak yang indah adalah dia tidak punya harta untuk diwariskan kepada anak-anaknya, tapi dia punya tenaga untuk mencari rezeki halal untuk menyekolahkan kami, anak-anaknya. Hanya "tenaga" itulah yang bisa bapak berikan untuk kami. Tekad dan mimpinya satu, mewariskan ilmu (lewat orang lain) kepada kami. Itu lah bapak. Banyak orang kagum kepadanya, meski pekerjaannya kadang tidak stabil, tapi bapak mampu mensarjanakan dua anak perempuannya.

Emak dan Bapak

Bapak orang yang sadar akan pentingnya pendidikan. Jika dia punya biaya lebih dan tenaganya masih sekuat dulu, dia masih ingin membiayai S2 anak bungsunya. Semangatnya masih menggebu-gebu. Tapi memang masuk S2 tidak semudah masuk S1, anak bungsunya masih belum begitu semenggebu bapaknya. S2 tampak berat. Tapi harapan dan mimpi untuk bisa S2 tetap ada, walau hanya sebiji sawi. Entah apakah harapan dan mimpi sebiji sawi itu bisa mengguncang arsi Allah atau tidak?

Bapak menyekolahkan kakak keduaku dengan jerih payah dan peluh. Alhamdulilah meski harus menunda satu tahun, akhirnya kakak yang selalu bergelora dalam belajar itu bisa lulus juga dari UNJ pada tahun 2009 lalu. Kini dia mengajar di almamaternya sebagai guru bahasa Inggris. Kakak sendiri tidak jauh berbeda dari bapak. Tekad dan mimpinya kuat.


Saat membiayai kuliahku, tidak jarang juga terseok-seok karena ekonomi yang tidak stabil. Tapi Allah selalu punya cara untuk menolong hamba-Nya yang meminta pertolongan. Aku juga bisa lulus di tahun 2015 kemarin sebagai sarjana pendidikan bahasa Jepang, dengan perjuangan poll. Bapak begitu bahagia saat aku beri kabar aku sudah lulus. Kata emak, air mata bapak jatuh. Ah.

Saat menyekolahkan kakak, tidak sedikit harta benda dijual. Tanah, pohon pisang, televisi, radio, emas digadekan untuk dikirim ke Jakarta. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengeluh. Keadaan seperti  ini sudah biasa bagi keluargaku. Barang dijual lalu tidak lama berganti dengan yang baru. Beli tapi nanti dijual lagi. Itu sudah biasa.

Kondisi ekonomi masa itu benar-benar pailit. Kakak ketigaku yang juga tengah kuliah akhirnya harus mengalah dan berhenti, demi kebaikan kakak keduaku tersebut. Emak cuma berpesan, sukseskan dulu satu orang, baru yang lain menyusul.

Aku pun sempat menunda kuliah selama satu tahun. Saat itu aku sudah diterima di UNTIRTA jurusan bahasa Inggris (kalau tidak salah). Sudah banyak pula persyaratan yang aku penuhi. Tetapi Allah punya kehendak lain. Biaya masuk di tangan emak tidak cukup. Alhasil aku mendekam satu tahun di rumah, menunggu tes SMPTN yang akan datang tiba. 

Masa-masa menunggu inilah yang membuatku sedih meski satu sisi aku bersyukur karena aku sendiri belum siap untuk kuliah. Satu tahun bukan waktu yang sedikit. Tapi aku habiskan semua itu di rumah. Hanya di rumah. Berat badan yang dulu subur lama kelamaan turun, entah karena efek puasa atau pikiran. Darah yang mulai rendah karena aktivitasku hanya di rumah, kamar, dan kali jadi warna masa menungguku. Tapi saat itu Andra -keponakanku- masih berusia beberapa bulan, dialah salah satu penguat jiwaku yang rapuh. Waktu satu tahun tidak terasa, karena aku banyak menghabiskan waktu dengannya. Benar sekali jika seorang anak adalah pelipur lara bagi kedua orang tuanya. Andra adalah pelipur laraku selama menunggu masa-masa tes. Dia seperti malaikat yang dikirim Allah untuk mengisi tahun kesedihanku. Jadi jangan heran kalau aku sangat sayang kepadanya. Dia punya "jasa" dalam hidupku.
Andra Dwi Putra (ponakan)

Selain kehadiran sosok Andra, mimpi-mimpi yang aku bentangkan di langit-langit hatiku adalah energi penguat untukku. Selama satu tahun itu aku merajut mimpi. Sebelum tidur aku selalu mengatakan, "Aku harus kuliah! Aku ingin kuliah! Aku ingin menuntut ilmu! Aku harus bisa!" Hingga qadarullah aku bisa masuk UPI di jurusan bahasa Jepang. Saat aku diterima di UPI, persiapan "finansial"ku sudah cukup mumpuni. Biaya masuk sudah di tangan, pakaian-pakaian untuk kuliah juga sudah lumayan banyak. Dan aku malah diterima di Bandung! Kota yang di mata emak puunya image buruk dengan pergaulan bebasnya. Emak sempat melarang aku berkuliah di Bandung, tapi lagi-lagi Allah sudah punya ketetapan, siapa yang bisa menolaknya?

Setelah dijelaskan olehku dan kakak kalau Bandung tak seburuk yang dipandangnya, kekhawatiran emak mulai surut. Sebenarnya bukan karena image Bandung saja tapi karena jarak Pandeglang-Bandung yang sangat jauh jugalah yang membuat emak berat melepasku. Tapi pada akhirnya emak ikhlas juga membiarkan aku kuliah di Kota Kembang. Ikhlas melepasku mengejar mimpinya. Meski dia tau nanti harus berurusan dengan segala macam resikonya.

Akhirnya aku kuliah! Di kota besar pula. Tidak banyak prestasi yang aku gapai selama berkuliah. Hanya sedikit dan bisa dihitung jari. Tapi aku tidak berhenti bermimpi. Meski kekuranganku di sana sini, tapi aku tetap mengupayakan mimpiku terwujud. Tidak sedikit mimpi yang sudah tercapai, meski itu bukanlah mimpi besar.

Saat diwisuda


Bermimpi bagiku sangat menyenangkan. Kita bisa bermimpi apa saja toh tidak bayar. Tulis saja mimpinya. Kelak Allah yang kabulkan. Menunggu selama satu tahun bukan lah pekerjaan mudah. Dan itu menjadi mudah jika kita punya cita-cita yang jauh lebih tinggi dari waktu menunggu kita. Tidak ada mimpi yang tidak dilihat Allah. Selama mimpi itu baik, untuk kebaikan, maka tunggu saja tanggal mainnya, Allah akan memberikan kejutan demi kejutan dari "keliaran" pikiran-pikiran kita.

Tidak ada syarat khusus untuk bermimpi. Semua orang bisa bermimpi. Namun mimpi itu harus baik dan untuk kebaikan. Dan jangan lupa untuk menuliskannya di kertas. Agar kelak saat kita membaca kembali tulisan itu, kita sadar bahwa Allah telah mengabulkan mimpi kita. Dia tidak pernah mengecewakan kita.

Lalu, apa mimpiku sekarang? Apakah aku masih seperti Melin lima tahun yang lalu? Sang pemimpi? Iya, aku masih jadi sang pemimpi. Dan saat aku mengutarakan mimpiku pada emak, emak malah khawatir aku bisa gila jika tidak mampu mewujudkannya. Aku sempat geli dan terkehkeh sendiri saat membaca pesan emak di SMS. Aku pernah bilang ke emak bahwa aku ingin sekali menginjakan kaki di benua biru, berdiri di tanah Inggris, Jerman, Belanda, tapi emak bilang, "Jangan tinggi-tinggi mimpinya nanti kalau gak kecapai takut jadi gila." Aku terkehkeh dan membalasnya, "Mamih, mimpi ke Eropa itu tidaklah tinggi. Tak terwujud pun insyaAllah tidak akan membuat gila. Mimpi yang tinggi itu adalah selamat di akhirat dan masuk surga."

Bermimpi ke benua biru bukanlah mimpi yang datang barusan. Tapi sudah membumi di jiawaku. Kebiasaan membaca, menonton, dan melihat sepotong dunia yang mereka diami adalah penyebab kenapa aku begitu jatuh cinta pada bumi Allah yang satu itu. Tak pelak ribuan hasrat datang setiap waktu saat melihat mereka di koran atau tv.

Tidak hanya mimpi bisa menginjakan kaki di benua biru, aku pun bermimpi menjadi seorang penulis dan ustadzah. Meski lagi-lagi emak seakan tidak yakin aku mampu menjadi seorang ustadzah. Setiap kali mengobrol di telefon, emak selalu mengingatkan, "Kalau mau jadi ustadzah ya harus bisa menafsirkan al-Qur'an." Aku mengernyitkan dahi, aku harus belajar ke mana? Menafsirkan Qur'an tidak mudah dan cepat. Ah. Betapa berat mimpiku yang ini. Tapi kemudian aku punya ide, "Mamih, Da mah mau jadi ustadzah buat keluarga aja dulu. Hehe."

Mimpi jadi penulis? Sepertinya aku sudah jadi penulis, meski hanya aku yang mengakuinya. Aku pernah "protes" pada Allah, "Ya Allah, kenapa tulisanku gak bagus-bagus? Berbelit-belit. Kapan aku bisa menulis dengan bahasa yang mudah? Dan bisa dikonsumsi publik segala usia. Kapan aku bisa punya karya? Lalu memberikan talk show dan bedah atas karyaku?" Tapi kemudian pikiran itu segera aku tebas. Bahwa semuanya butuh proses yang panjang dan belajar yang terus menerus. Kini aku menulis bukan untuk jadi seorang penulis, tapi untuk membagikan "rasa" kepada sesama, mengarsipkan kehidupan, memumikan kenangan, dan tentunya -jika iman sedang bagus- aku ingin tulisanku bisa jadi "bekal" di kehidupan keduaku nanti. Karena tulisan yang baik akan mengabadikan penulisnya. Entah itu namanya atau pahalanya. InsyaAllah.

Mimpi yang baik membawa pemimpinya menjadi optimis. Tentunya bukan sekedar angan tapi mimpi yang diperjuangkan. Bapak punya tekad. Emak punya mimpi. Kakak punya harapan. Dan aku punya keinginan. Semuanya adalah paket mimpi. Bermimpilah. Dan kau punya kekuatan besar karena mimpimu.

Comments

Popular posts from this blog

Housewife Vs Homemaker

Housewife vs Homemaker? Apa ini? Dalam Bahasa Inggris, profesi IRT alias Ibu Rumah Tangga biasa disebut housewife . Karena ilmu bahasa Inggris saya nihil, jadi saya gak tau kenapa orang Inggris menamakan IRT itu dengan sebutan housewife ? Sebuah kata yang terdiri dari dua suku kata, "rumah" dan "istri". Kalau dibolehin untuk ngasih opini dari kelas sudra saya, mungkin maksudnya adalah seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah. Wah, keren. Lebih lengkapnya bisa mungkin cari di kamus EOD, Gais. Daripada penasaran, hehe. Gak salah memang kalau seorang IRT diartikan sebagai seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah, sebab memang begitu lah kenyataan yang sering terjadi di masyarakat. Namun, karena bahasa punya sifat inovatif, di mana dia bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, bisa jadi kosakata housewife  dapat digantikan perannya menjadi homemaker . Wah, apa itu? Istilah homemaker  tercetu

Belajar Bahasa Jepang Sehari-hari

Di Rumah Orang Jepang biasanya sesaat setelah mereka bangun pagi, akan langsung menyapa keluarganya. Dengan ucapan selamat pagi, "Ohayou" . Mereka akan saling mendahului untuk menyapa dengan ucapan ini. Mari kita mulai percakapannya! Sakura : "Ohayou" Okaasan : "Ohayou" Otousan : "Ohayou" Kenta (Imouto) : "Ohayou" Sakura : Hayaku okiru ne, Kenta ha." Okaasan : "Sou ne. Kyou otona ni nattakara ne." Kenta : "Nande sore. Kyou shiken ga attakara." Otousan : " Yoku ganbatte ne . Jaa, ikanakya. Ittekimasu . " Okaasan : "A, itterashai ." Kenta to Sakura : " Itterashai ." Terjemahan Sakura : "Pagi." Ibu : "Pagi." Ayah : "Pagi" Kenta (adik laki-laki) : "Pagi." Sakura : "Kenta bangunnya cepet ya." Ibu : "Iya ya. Karena sekarang ma udah gede." Kenta : "Apaan sih. Aku bangun cepet karena ada ujian hari in

Asmaul Husna*

Saat mendengarkan iklan di radio MQ FM, saya terkesan oleh salah satu lagu di dalamnya. Lagu itu menyanyikan 99 nama-nama Allah yang baik dan agung, yakni Asmaul Husna. Lalu sadar kalau laguitu sangat menyentuh hati saya, saya buru-buru merekamnya. Dan lalu saya menangis ketika mendengarkannya. Alhamdulilah. Sudah dua minggu semnejak saya mendapatkan lagu baik itu. Lalu saya ingin sekali mengikuti lagu tersebut. Namun saya terbatas karena belum hafal lirik lagunya. Dengan beberapa kali mendengarkan lagu itu, saya pun menulis liriknya yang semoga sesuai dengan lagu tersebut. Saya masih belum tahu siapa gerangan sang biduannya. Mungkinkah Sami Yusuf? Hemm. Siapapun dia, semoga Allah menjaganya dengan sebaik-baik perlindungan ^^ Bdw, ini lanngsung saja saya lampirkan liriknya. Siapa tahu kalian sudah  punya lagunya tapi belum tahu liriknya. Hehe. Mari kita sharing . Yang bisa nyanyiin lagunya, ayo nyanyikan! Ya Allah...4x Ya Allah...4x Allahu antal malikul quddus... Wal jabbarul