My Doc |
Dear Suami Terbaikku...
Aku tidak pandai dan cerdas. Nilai matematikaku di sekolah selalu jelek. Apalagi Fisika dan Kimiaku, tak kalah memprihatinkannya di raport setiap kali aku menerimanya di akhir semester. Aku takut, kau tidak suka padaku, karena hal ini. Tolong maafkanlah aku.
Untukmu Suami Terbaikku,
tapi aku amat suka sekali menggambar, membaca buku, puisi, menulis, mewarnai, dan ketika aku sedang "mood" maka aku bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa. Seperti aku bisa menggambar dan mewarnai gambarku bak seorang pelukis handal dari Bali [Affandi] atau Jawa [Raden Saleh]. Sampai-sampai aku kadang mendapatkan pujian dari yang melihatnya. Tapi bagiku itu semua hanya hal yang biasa. Amat biasa. Sedang bagi yang lain itu amat luar biasa. Dan jangan salah, saat aku tengah terbawa suasana indah, aku bisa melakukan kekreativan lebih hebat dari biasanya. Seperti ketika itu aku sedang ada di rumah karena aku libur semester tiga tahun lalu, kampung yang sepi, kerinduanku pada sesuatu yang aku sendiri tak paham kepadanya, membawaku menggambar seorang perempuan dengan setengah wajah tengah menutup matanya. Dia tampak lelah, capek, dan tired, semuanya sama aja. Dan saat itu ada crayon milik keponakan sedang nganggur, alhasil aku memadukan keduanya, dan saat aku selesai menggambar dan "memuntahkan" kegundahan hatiku, kakak pertamaku masuk dan tidak sengaja melihat gambarku, seketika dia berkata, "Ih bagus amat. Dapat siapa ini? Ini buatan kamu?" Dia gak percaya setelah beberapa kali aku mengiyakan dengan santai. Aku cuman bingung dan lantas bertanya, "Lah? Emang kalo bukan dapet aku dapet siapa? Davia? Andra?" Itu hal yang mustahil. Wong megang pulpen aja belom bener mereka mah. *grin emoticon* Itulah kelebihanku, duhai suami terbaikku. Kelebihan pertamaku.
Suami Terbaikku,
aku juga tidak sering membantu orang. Adik kelasku yang memberikan beribu-ribu kode *lebay* agar aku membantunya, tapi aku selalu tak bergeming dan tidak mau membantunya. Aku sadar dia ingin aku membantunya, tapi entah kenapa aku tidak mau membantunya. Aku yang salah atau kah ada sesuatu diantara kami? *hening* Pasti kau kaget mendengarnya. Maafkanlah lagi aku.
Aku benar-benar tidak peka, dan kalau pun aku peka, aku tidak peduli dan aku tidak mau ke-PeWe-anku diganggu gugat oleh kode gono gini mereka. Aku sudah nyaman dengan keadaanku. Tapi aku juga tidak selamanya, tidak kepada setiap orang seperti ini, hanya pada mereka yang memang punya gelagat yang tidak mengenakan, ah apakah dari diriku sendiri yang salah? Pfttt entahlah, aku pun bingung. Ini bukan yang pertama, tapi ini selalu saja jadi hal pertama yang membuatku bingung menghadapi diri sendiri saat mengingatmu, Suami Terbaikku. Hihi, jangan marah, lagi-lagi jangaaaaan.
Aku benar-benar tidak peka, dan kalau pun aku peka, aku tidak peduli dan aku tidak mau ke-PeWe-anku diganggu gugat oleh kode gono gini mereka. Aku sudah nyaman dengan keadaanku. Tapi aku juga tidak selamanya, tidak kepada setiap orang seperti ini, hanya pada mereka yang memang punya gelagat yang tidak mengenakan, ah apakah dari diriku sendiri yang salah? Pfttt entahlah, aku pun bingung. Ini bukan yang pertama, tapi ini selalu saja jadi hal pertama yang membuatku bingung menghadapi diri sendiri saat mengingatmu, Suami Terbaikku. Hihi, jangan marah, lagi-lagi jangaaaaan.
Suami Terbaikku,
aku juga susah beradaptasi jika sudah nyaman dengan seorang teman atau kawan. Kecuali teman itu bukan teman yang bisa ku temui di hari berikutnya dan berikutnya. Oh sederhananya, aku susah menjadi baik dan jeleknya adalah tidak bisa menutupi ketidak sukaanku kepada seseorang. Misal, aku sudah akrab dengan si A, dan si B juga dulunya adalah temanku, tapi karena si B ini sikapnya aneh, dia dan kami [aku dan si A] jadi tidak dekat lagi, alhasil ketika si B datang lagi bertemu denganku, sikapku jadi aneh dan kaku, sehingga benar-benar tidak membuat si B nyaman. Aku tidak bisa menutupi sikap apalagi hatiku. Memang dia letaknya di dalam, tapi bau amisnya ketidak sukaan itu menjalar ke seluruh tubuhku. Mengkomandoi gerak-gerik tubuh, mimik wajah, intonasi suara, dan kata-kata yang dikeluarkan lidah menjadi menyebalkan dan tidak enak. Itulah aku, aku sungguh tidak bisa -kadang- menyembunyikan ketidak sukaanku kepada orang. Ternyata benar, aku tak pandai bersandiwara, ya. Jangan tawari aku untuk bermain peran ya, My Husband.
Dan masih banyak Suami Terbaikku, kejelekan diriku.
Seperti, aku ternyata lebih banyak joroknya ketimbang rajinnya. Aku rajin hanya ketika aku berpikir bahwa aku adalah calon istri impian, ibu impian, menantu impian, dan anak impian. Dengan berpikir semacam itu semangat bebersihku naik tajam, seperti saham saat minyak dunia melimpah *apasih*. Ya, aku benar-benar harus selalu berpikir seperti itu. Jika tidak, tampaknya aku benar-benar akan menjadi seorang yang jorok seumur hidupku. Tapi, aku tidak sering berpikir seperti itu. Banyak hal yang membuatku tidak menjadikan pikiran baik itu menjadi habit dan keseharianku. Aduhai, apa yang salah dengan diriku ini? Hihi.
Oh iya, tapi dibalik itu semua, aku bisa bersungguh-sungguh, serius, fokus, dan mencintai apa yang sedang aku kerjakan. Tapi itu adalah sebuah kejarangan. Seperti adanya matahari bersinar ke Kutub Selatan dan Utara, setaun sekali. Hiyyy seram... Tapi, jelas, aku bisa melakukan itu semua. Aku akan berlatih dan menjadikannya karakter diriku. Aku bisa, karena aku mau dan akan melatihnya. Aku bisa karena kamu adalah suamiku. Aku tahu kau begitu spesial, Allah membimbingku sebagaimana lantunan doaku, untuk merubah diriku menjadi lebih baik, karena kamu... kamu begitu teramat spesial untukku :)
Terimakasih jodohku, suamiku, kekasihku, aku bisa karena adanya dirimu dan pertolongan-Nya yang begitu menyentuh. Terimakasih. Aku suka kepadamu :)
Comments
Post a Comment