Aku merasa tengah jadi
seorang Barbie yang sedang berjalan di atas air. Dengan cahaya matahari yang
berkilau di atas air sebagai landasan
langkah. Ku melangkah selangkah demi selangkah, dengan senyuman dan kehatian-hatian.
Tanganku ku simpan di atas agar tubuhku seimbang. Aku benar-benar menjadi
seorang peri! Karena saat aku memeriksa punggungku, di kanan kirinya ada dua
buah sayap yang sedang mengepak lembut. Warnanya putih tulang dengan kilauan
emas dan warna-warna soft biru toska, pink muda, dan warna emas. Ada beberapa butiran yang
membuat sayap itu berkilau sparkling, but I
tidak tau itu apa...
Aku memakai gaun yang
dulu dipakai oleh wanita-wanita eropa pada zaman revolusi yang bagian roknya
kembung. Gaun itu selutut ku lebih lima senti. Bagian tangannya mengembang
seperti balon, dan rambutku terulur panjang diikat dengan tali yang aku tidak
ketahui warnanya apa.
Aku masih dengan senyuman
berjalan di atas air... sesekali unicorn di sebelah sana meringkik. Mungkin dia
latah takut aku terjatuh. Aku baru juga melangkahi setengah jalan danau itu.
Lalu aku berhenti di tengah-tengah dan aku mulai berputar-putar sambil
menengadahkan wajahku ke atas. Haha. Aku mungkin bahagia. Dan kedua telapak
tanganku ku buka kan, aku berharap ada sesuatu yang berhenti disana. Ntah burung, atau air hujan, atau angin yang ingin istirahat dan
bersama ikut berputar denganku. Karena aku sedang bahagia. Hihi... aku masih
berputar-putar sambil sesekali wajahku meringis karena ada benturan air embun
yang jatuh dari atas. Mungkin pohon yang ada di samping danau itu terhuyung
oleh angin atau karena ada burung yang berhenti di dahannya. Aku malah
tersenyum bertambah lebar. Dan tertawa sambil kembali wajahku menghadap ke
atas. Kali ini aku tertawa sambil mulutku terbuka, dan deretan gigiku juga
terlihat. Aku berputar lagi sambil tertawa bahagia, di telapak tanganku kini
ada dua ekor burung yang juga sedang tertawa dan ikut berputar denganku... aku
terus berputar, kini air yang memutarkanku, aku hanya berdiri di situ dan
memeluk burung yang ada di telapak tanganku. Memeluk mereka dengan erat sambil
aku tersenyum hangat. Mereka juga merasakan kehangatan itu karena mereka
menutup mata mereka. Hihi...
Mereka ikut memelukku
dengan merebahkan tubuhnya dalam pelukanku. Aku terlena oleh keindahan dan
kebahagiaan ini, sampai aku tidak sadar
bahwa aku masuk ke dalam putaran sungai.
Air tidak menempel ke tubuhku. Air itu terus berputar dan semakin membawaku ke
dalam. Putaran itu membukakan jalan hingga ke bawah. Aku terus memeluk dan
memejamkan mata dengan kedua burung kecil berwarna hijau itu. Tubuhku kini
sudah jauh ke dalam. Danau itu menjadi seperti ada lubangnya, aku terus
menghilang ditelan putaran air di danau itu. Aku tidak tau lagi ada dimana...
Aku terbangun dari
tidurku karena sengatan panas matahari yang menyinari kulitku. Aku kaget,
kenapa aku ada di jalan? Ada mobil tidak jauh dari tempatku bangun. Dan deretan
rumah yang di depannya ada taman yang berumput dan pagar. Tempat itu sangat
sepi, aku bingung aku sedang ada dimana. Aku
berdiri dan melihat ke sekeliling, dengan posisi tanganku masih dalam
keadaan memegang dua burung yang tadi mendarat di telapak tanganku. Mereka
masih disitu tapi bukan burung yang tadi aku peluk, warna mereka berubah jadi
abu-abu, putih dan sedikit hitam... dan
lantas mereka terbang ke atas pohon, mereka seperti berbeda dengan
burung yang tadi dipeluk olehku, dari sikapnya saat akan terbang tadi. Seperti
tidak kenal orang yang memegangnya. Aku masih ternganga oleh kedua burung itu.
Mereka tidak sopan melakukan itu kepadaku. Aku kemudian mencoba mengejar mereka
dan mengajak mereka untuk kembali
pulang, tapi sia-sia, mereka sudah terbang ke pucuk pohon pinus yang paling
tinggi di tempat itu. Aku hanya menarik nafas panjang dan merelakan mereka
pergi jauh. Aku hanya memeluk diriku sendiri yang tidak tau harus kemana dan
tengah ada di mana. Aku lagi-lagi melirik ke kanan ke kiri. Hanya ada angin
yang membisikan gesekan daun-daun cokelat pohon canopi yang sudah kering. Aku
mencoba menangkap angin, tapi dia tidak bisa ku pegang dan pergi saja tanpa
menyapaku. Aku sangat sedih. Kenapa mereka semua begitu? Aku lalu ingin sekali
rasanya menangis sekencang-kencangnya. Dan aku lakukan itu. Aku berjongkok dan menangis
sejadi-jadinya. Tangisanku 87cukup keras
dan membuat bajuku basah di bagian roknya. Tapi aku tidak peduli aku terus
menangis dan menangis. Sesekali aku menengadah, dan melirik ke kanan kiriku,
mungkin ada orang yang datang dan mendengar tangisanku, tapi tidak ada sama
sekali. Sampai ketika aku melihat sekeliling,
yang datang menghampiri ternyata malam. Sekelilingku mulai gelap dna angin
mulai keras menyapu debu jalanan. Tangisanku sudah mulai mereda. Dan aku
berjalan menyusuri jalanan aspal yang lumayan lebar dan terus berjalan tidak
tahu kemana. Aku hanya mengikuti langkah kakiku... aku terus berjalan dan kini
pemandangan di depanku adalah hamparan ilalang yang bergoyang-goyang tertiup
angin... ada pohon yang berdiri di sana,
tapi tidak berdaun. Kakiku sudah lemas dan seperti tidak bisa lagi menopang
tubuhku. Tapi aku terus berjalan. Sampai ketika aku membuka mataku, aku sudah
berada di sebuah ruangan yang lampunya terang sekali mengenai kedua mataku. Dan
kepalaku tengan di pangku tangan dan di
tempatkan di paha seseorang. Aku membuka
mataku dan ada orang di depanku. Orang itu bertopi besar dan memegang senapan
yang panjang. Aku tidak punya kekuatan,
aku hanya mengedipkan mataku. Sampai jelas penglihatanku, aku
memerhatikannya dengan seksama. Dia lelaki yang tampan. Wajahnya lonjong dan
dagunya ditumbuhi rambut-rambut yang mulai tumbuh lagi padahal sepertinya baru
beberapa hari yang lalu di potong. Kedua alisnya tebal dan lurus dan bagian
ujungnya ke bawah, memberi kesan bahwa dia sangat lembut. Matanya cokelat
sekali seperti semua warna yang dilihat olehku di ruangan itu, kecuali sinar
lampu yang begitu terang. Bulu matanya sangat panjang sekali. Hidungnya mancung
seperti wajah-wajah yang biasa ditemuinya, bibirnya tipis dan lebar. Aku hanya bertanya saja dalam
hati, aku ada dimana??? Lelaki itu
melepaskan aku dari pangkuannya dan meletakan kepalaku di atas jerami yang jadi
bantal tidurnya. Dia memberiku air hangat ke dalam sebuah cangkir termos
steanless miliknya. Aku meminumnya dan aku
berbaring lagi. Aku hanya
memandang ke atap langit dengan mensidekapkan kedua tanganku di perut. Aku
sedang berpikir, tapi aku tidak tau apa yang aku pikirkan. Mungkin aku sedang
melamun, dengan tatapan mata yang
kosong.
Comments
Post a Comment