Langkahku terhenti ketika pekik
jeritan kembali ku dengar. Sesegukan ramai memenuhi telingaku yang mulai
mendingin. Ku lihat wajah-wajah mereka sembab, banjir oleh air mata. Mata sendu
yang selalu ku rindukan itu nampak berbinar. Kelopak matanya dipenuhi desakan
air yang ingin terjatuh. Namun kekar
bahunya menolak. Hanya bibir tipisnya terus bergetar. Lirih ku dengar,
nama Tuhannya yang tengah ia sebutkan.
Betapa luas tanah lapang yang ku temui. Tak terbatas sejauh mata memandang. Namun sepi tak berpenghuni. Desah manja angin sekalipun takku dengar. Hanya tangis dan isak yang masih sayup-sayup mewarnai langkah baruku yang cukup menghenyakan sepi.
Betapa luas tanah lapang yang ku temui. Tak terbatas sejauh mata memandang. Namun sepi tak berpenghuni. Desah manja angin sekalipun takku dengar. Hanya tangis dan isak yang masih sayup-sayup mewarnai langkah baruku yang cukup menghenyakan sepi.
Ada sebingkai wajah yang tersenyum
di pinggir jalan yang ku lewati. Tangannya kukuh dan kekar melambai. Ku ingin
menangkapnya erat, dan menggandengnya untuk berjalan bersamaku. Namun tak bisa
ku raih. Senyumannya yang berkilau menguatkan langkahku yang lemah. Air mataku
bercucuran. Rasanya belum banyak waktu ku lalui bersamanya.
Senyumnya nampak berat namun indah.
Wajahnya nampak terpaksa menutupi kabut berat yang dihadapinya, tapi tak
membuat kesyahduannya musnah. Bahunya masih kekar. Dan jiwanya masih bersahaja.
Ku bangkit. Ada sebutir sinar
menerpa wajahku yang kuyup.Sinar itu cemerlang.Menyusup senyap ke dalam sukma.
Ku rapikan lagi langkah yang tadi berantakan. Ku semakin menjauh dengan
lambaian tangan kukuh itu. Semakin jauh. Dan
jauh. Kemudian hanya ada warna putih dan putih.
***
Dia adalah lelaki terbaik yang
pernah ku kenal. Tak pernah sedikitpun aku bermimpi untukmenjadi bagian dari
tulang rusuknya yang hilang. Aku hanyalah mahasiswa yang sibuk dengan duniaku.
Pun dia sibuk dengan dunianya. Dia
denganku tidak kenal satu sama lain. Jika bukan Allah yang mengenalkannya
untukku.
Dia adalah lelaki yang paling syahdu yang pernah ku
temukan. Wajahnya seperti kurma kualitas terbaik. Manis. Wajahnya selalu
tertunduk bersama senyum tulus murninya. Rambutnya yang kriting hitam sering
terjatuh ke keningnya yang cemerlang karena berat menahan serapan air dari
wudhunya. Kulitnya seperti madu. Cokelat dan mengkilat. Tinggi kekar bersahaja.Pandangannya
selalu dijatuhkan ke tanah. Lembut
sikapnya membuat sempurna jiwa lelakinya. Dia, lelaki yang tak pernah ku
impikan untukku menjadi kekasihnya.
Aku hanyalah mantan wanita galau. Setia berteman dengan
air mata dan kenangan cinta yang porak poranda ketika cinta yang ku percaya
pupus tanpa sisa. Wanita yang terus menerus mengatakan dirinya kuat. Walau
sejatinya kata-kata itu bukti kelemahannya. Wanita yang tidak pernah
bersungguh-sungguh dan selalu setia mangkir dari amanah-amanahnya. Wanita yang
dianggap hebat oleh mereka yang tidak mengenalnya. Padahal dirinya merasa dia
adalah wanita terbodoh di dunia. Wanita yang masih kehilangan rasa percaya
dirinya. Wanita yang tidak cantik, juga tidak jelek. Ya, aku benar-benar wanita
biasa dari yang terbiasa. Akhlakku masih ketar ketir meski jilbabku sudah
panjang. Mentalku masih mental tempe meski aku sudah berkepala dua.
Aku dengannya benar-benar jauh berbeda. Seperti si hitam
dan putih. Tapi tidak ada yang mustahil bagi Allah. Entah dia si hitam dan
buruk rupa atau dia si putih yang baik rupa. Manakala sudah digariskan untuk
bersama tak ada yang bisa menahan-Nya.
Tak serasi jika di mataku. Namun berbeda di mata Allah.
Allah tahu betul aku. Sedang aku tidak. Allah tahu yang terbaik, sedang aku tak
tahu.
***
Aku adalah wanita bodoh yang diselamatkan Allah. Dua
bulan yang lalu aku diloloskan Allah untuk menerima beasiswa di salah satu instansi
di sekitar tempat kosku. Tak ada sedikitpun ilmu yang aku miliki saat tes itu.
Aku hanya ikut dan mengikuti tetakdir Ilahi.
Sebagai penerima beasiswa, otomatis aku menjadi bagian
dari instansi tersebut. Tak kepalang bahagiaku. Menerima beasiswa juga menjadi
bagian dari instansi yang inshaa Allah diberkahi-Nya. Banyak malam dan waktu
yang ku lewati disana. Baik itu hanya untuk sekedar meminjam wifi atau juga
merawat ruhani yang kemarin sempat terserak akibat ulah cerobohku dalam
mengelola cinta dan hati yang tak tertata.
Tempat itu semakin akrab denganku setelah malam demi
malam ku lewati disana. Orang-orang disana pun sudah ada yang mengenali aku
serta sudah banyak teman yang ku impikan untuk jumpa dijumpakan Allah di tempat
itu. Sungguh tempat yang sangat menyenangkan bagiku yang tengah galau akut.
Siang itu awan mendung dan berkilat oleh cahaya petir.
Aku berlenggang hendak pulang setelah selesai kumpul bersama teman membahas
projek. Ku terpaku pada dua wanita yang tertutupi jubah. Hanya kedua matanya
yang mengerling tajam. Betapa cantik mereka, gumamku dalam benak.
Wanita-wanita bercadar yang ku temui dalam perjalanan
pulang itu, menyisakan debaran rasa yang tak biasa. Aku ingin memakai cadar!
Teriakku dalam hati. Bukan karena siapapun dan bukan karena hal apapun, tapi
hanya karena aku cintai-Nya.
Ku mengendus niat dalam pejaman mata. Menelusuri gejolak
hati yang berserak. Betapa nikmat ku rasakan ketika ku temukan dalam bayanganku
diriku terbalut jubah seperti dua gadis yang ku temui tadi. Kenikmatan yang tak
mampu tergoreskan dengan kata. Nikmat dari mencinta-Nya. Meski aku sadari diriku masih sangat minim
persiapan dan keadaan. Namun sebungkus niat itu ku simpan dalam hati. Biar kelak
Allah yang mencukupkan.
Aku terhenyak. Ketika ku dapati wajah asing dalam
renungan niatku untuk bercadar. Wajah yang pernah sekali dua kali ku lihat.
Wajah yang aku kenal karena terkenal. Wajah yang aku herankan bisa masuk dan
menyusup dalam renungan niatanku. Wajah itu ku ketahui karena dia adalah ketua
sebuah UKM keislaman di kampus. Lelaki yang bahkan tidak ku ketahui nama,
jurusan, alamat, dan angkatan berapa. Aku tidak tahu. Aku hanya menghela nafas.
Mencoba membuang segenap debaran yang terasa kencang bergema.
***
Senyumnya ringan. Wajahnya nampak kurus dibandingkan
dengan yang ku lihat dalam bayang renunganku dahulu. Namun rambut basahnya sama
dan kulitnya sama dengan apa yang ku lihat, dulu. Suaranya serak parau dan lembut.
Sikapnya bersahaja karena kelembutan. Namun ketegasannya tak hilang. Ia
tersenyum lembut menatapku yang gugup. Syahdu wajahnya menentramkan. Basah
rambutnya menenangkan.
Rintikan air mata berjatuhan dari wajahku yang penuh
riasan. Bedak tebal luntur. Eyeliner yang terpasang pun pupus. Basah kuyup
wajahku. Juga berantakan. Aku hanya menangis. Tangan Allah begitu hangat.
Selalu terbuka menerima rintih dan doa hamba-Nya.
Aku hanya menangisi kebaikan-Nya. Aku sempat berfikir
bahwa lelaki terbaik bukanlah milik si buruk rupa sepertiku. Aku berfikir bahwa
lelaki terbaik itu hanyalah dia yang pergi meninggalkan jejak lukanya di
hatiku. Aku berfikir bahwa lelaki terbaik takkan pernah aku terima karena aku
yang hina. Tapi jemari-Nya begitu peka melihat doa dari pori-pori hati hamba-Nya.
Jemari-Nya tak lepas meski hamba-Nya durhaka. Karena tangisan ini aku lega. Air
mataku bentuk syukurku.
Tangannya yang kukuh menguatkan aku. Beriring dengan bait-bait
kata yang ia lantunkan. Mengubur luruh air mataku yang mengguyur bumi. Ku
semakin bahagia. Ia berkata bahwa akulah bidadari surga. Suara seraknya
menendangkan syair:
Terucap
syukurku, aku memilihmu. Tuk menjadi teman hidup setia selamanya.
Belahan hati
ini kini tlah terisi. Aku dan dirimu mengikat janji bahagia.
Dan berlayarlah
kita renda keluarga, merentas hdup bersama.
Aku bahagia
ku dipertemukan belahan jiwaku.
Tuhan
persatukan kami untuk selamanya, hingga bahagia di surga-Mu.
Pegang tanganku
tataplah mataku. Engkau ditakdirkan untukku.
(Edcoustic: Kau Ditakdirkan untukku)
***
Hari-hari ku lewati begitu indahnya. Hanya ada tawa. Dan
hari-hari penuh cinta. Senandungnya tak pernah hilang. Saat hendak lelapku.
Saat murungku. Selalu diwarnai suara seraknya. Ialah
lelaki setia yang selalu ada untukku. Siap melakukan apapun untukku. Dan siaga
menjadi pelindungku.
Waktu yang ku lewati baru saja bergulir dua bulan. Hingga
suatu malam nafasku terasa sesak tiba-tiba. Jantungku serasa sempit untuk
sekedar dilewati darah. Kembang kempis nafasku berusaha menahan sakit. Ku tak
pernah tahu aku punya ini. Panik nampak hadir dari wajahnya. Tubuhnya yang baru
saja sampai dari tempat kerja, sudah dibuat sibuk olehku. Namun kelembutannya
terus terpancar. Hingga aku menjadi tenang. Namun jantung ini kian lama kian
terasa mengecil dan menyempit. Darah yang harusnya mengalirkan oksigen ke
jantung macet. Nafasku semakin tersengal. Aku hanya melihat bahwa waktu
pemanggilanku akan segera tiba. Aku menitikan air mata. Aku harus pergi dengan
langkah yang baru. Tanpa genggaman tangannya yang kukuh menggandengku. Langkah
baru yang hanya ku sendiri jalani. Tak ada dia menemaniku.
Momen ini sungguh sangat menyakitkan. Ku hanya ingin
memejamkan mataku. Berharap segera tak ku rasa lagi kepedihan. Ku terlelap
dalam kesejukan. Meski suara lembut itu memanggil namaku dengan kepanikan.
Sayang...mungkin
aku terlalu mencintaimu...aku lupa bahwa aku bernyawa, yang pasti akan kembali
kepada-Nya,karena aku milikDia. Sayang, hidup bersamamu membuatku lupa bahwa
aku tengah hidup di dunia. Aku hanya merasa aku tengah hidup di taman surga.
Aku lupa sayang...bahkan ketika jantung ini mengguncang pertahananku, aku tak
merasa...
Kau
kekasihku. Lelaki tersyahdu yang pernah ku temui. Lelaki yang Allah aza wa jalla yang ditakutinya. Lelaki yang pandangannya
utuh hanya untukku. Lelaki yang kelembutannya membuat jiwanya indah.
Kau
kekasihku. Lelaki terbaik yang dikirim Tuhan untuk pelipur laraku. Lelaki
terbaik yang dihadiahkan Tuhan untuk salah satu hamba-Nya yang paling hina.
Salah satu hamba-Nya yang tak bisa apa-apa.
Kau kekasih
sejatiku. Aku mencintaimu karena Allah.
Bandung, 03
Mei 2014
Comments
Post a Comment