18 Januari 2014
Hana meringis
kesakitan. Jantungnya remuk redam seakan dilindas buldozer berkali-kali.
Hatinya perih meski ia tidak menampakannya. Terasa diiris-iris oleh pedang
pusaka yang tajamnya berjuta-juta kali. Ia hanya menutupi tangisnya di balik
bantal kumelnya. Malam ini dia dapati kesakitan yang amat luar biasa selama ia
hidup. Bukan terkena sabetan pedang, bukan pula tersayat-sayat pisau. Hanya
karena oleh sebuah ucapan dari seseorang yang dicintainya.
Malam itu,
seperti biasa Hana mengangkat telefon dari pria yang kini tengah menghuni hatinya, Jun. Lelaki
yang dimata Hana begitu sempurna tiada tandingannya di seantero bumi. Lelaki
sholeh impiian dan dambaan wanita dimanapun. Kedalaman ilmunya,membuat
wibawanya begitu dahsyat meski ia hanya bisa mendengar suaranya dikejauhan.
Kelembutannya menaklukan dingding-dingding beton pertahanan Hana sebagai seorang
wanita yang sulit jatuh cinta.
Dengan nada suara
yang lembut, Hana mengangkat telefon darinya. Mengobrol beberapa jam, merelakan
wkatu belajarnya hanya sekedar untuk melepas kerinduan bercengkrama dengannya.
Tanpa sadar, perbincangan yang banyak dilakukannya dengan lelaki itu telah
membuatnya jatuh cinta teramat dalam kepadanya. Hingga tiada hari yang dirasai
Hana selain hanya cinta dan bentuk love yang saling beterbangan di hatinya.
Namun, malam itu
isak Hana sempat mengganggu kenyamanan obrolan mereka manakala Jun mengatakan
hal yang sejatinya tak pernah disukai oleh semua kaum wanita di muka bumi ini,
yakni di banding-bandingkan denganwanita lain. Terlebih dengan sahabatnya
sendiri.
Bukan apa-apa,
Hana hanya curiga dia lebih mencintai pacar adiknya ketimbang dirinya. Hana
takut dia berpaling kepada wanita itu dan meninggalkan Hana begitu saja. Hana ketakutan
hingga kalimat perbandingan itu seakan adalah sebuah bom bardir untuk bumi hati
Hana yang baru saja mengenal cinta. Hana hanya tidak ingin ada wanita lain yang
bisa membuat berpaling lelaki yang dicintainya. Meski itu merupakan sebuah hak
dia. Karena Jun bukanlah siapa-siapa Hana. Bahkan pacar pun bukan. Dia hanya
lelaki yang tengah dkeat dengannya saja tanpa status hugungan yang jelas.
Namun, Hana terlanjur jatuh dan menajtuhkan total hati dan jiwanya kepada
lelaki itu. hingga meski staus hubungannya dengan Jun samar, Hana sudah
terlanjur menganggap Jun adalah lelaki yang harus bertanggung jawab dengan
segenap rasa yang kini tengah ia rasakan.
Malam itu Hana
benar-benar merasa remuk redam hatinya. Ketika Jun mengatakan kebaikan-kebiakan
wanita lain yang tidak lain adalah sahabat Hana sendiri dan yang tidak bukan
adalah pacar dari adiknya Jun.
Malam itu Hana
ikhlas. Sama seperti wanita-wanita lainnya, yang manakala disakiti oelh orang
yang sangat dicintainya, seberapa besar dan dalam pun kesakitan itu ia akan
tetap membukakan pintu maaf yang besar baginya. Hana pun sama halnya dengan
wanita-wanita lain. Maka ia ikhlas dengan pperlakuan Jun kepadanya malamitu. Meski tanpa sadar Jun
telah mencabut setengah hati Hana yang tadi cerah.
Ada sat hal yyang
berbeda dari diri Hana dibanding dengan wanita-wanita lain pada umumya, yakni
cuek dan keras. Setelah beberapa saat mereka selesai mengobrol, Hana merenung
dengan bekas keperihan hatinya atas ucapan Jun. Hilang sudah rasa kepercayaan dirinya dalam mencintai
seorang lelaki, bernama Jun. Sedikit demi sedikit, harapan yang tadinya
menggumpal membentuk anak gunung, kini mulai pudar tersambar kesedihan atas
perlakuan Jun tadi. Hingga Hana tersadar dan akhirnya memutuskan dan mengikat
janji dengan Tuhan untuk menitipkan hati dan segenap isinya kepada pemilik
hakiki hatinya, yakni Allah aza wajalla.
Hana benar-benar sampai fokus mengikat janji dengan Tuhannya. Sampai-sampai air
mata kesedihan itu kini berganti menjadi senyuman ketenangan. Hati yang
tadinya berat dan sesak oleh kesedihan, kini sudah hampa dan ringan seakan
tidak berisi. Hana mengucap syukur dan hamdalah pada Tuhannya atas pertolongan
terbaiknya.
Hana menyaksiakn
bagaimana ketika ia menyerahkan segenggam hati itu kepada Rabbnya. Dan Rabbnya
pun dengan terbuka menerima keputusan Hana. Allah menyediakan sebuah peti emas
seukuran setengah meter kali 0.4 meter. Disertai rantai dan gembok emas. Hana
dengan senyum bahagia dan puas menyimpan hati dan segenap isinya kepada peti
emas tersebut. Biarlah kelak ia akan membukanya jika sudah pada waktunya.
Ketika hati itu sudah layak untuk dikeluarkan kepada orang yang benar-benar
diridhai oleh Rabbnya. Hana bahagia menitpkan hati dan segenap isinya kepada
tangan Rabbnya. Kelak biarlah tangan yang pantas yang membukanya, untuk seseorang yang benar-benar tepat untuknya.
Lalu dengan wajah
yang penuh dengan air mata, Hana terlelap bersama malam. Malam itu adalah malam
yang menyakitkan bagi Hana, namun juga sekaligus adalah malam yang menyenangkan
baginya.
18 Maret 2014
Hana mengusap bulir-bulir
air mata yang membanjiri pipinya. Kini
kenyataan pahit tengah menaungi
kehidupannya. Kejujuran Jun membuatnya sakit setelah selama ini mereka
menjalin sebuah kedekatan. Jun baru sjaa mengaku bahwa lelaki yang dicintainya
selama ini dan lelaki yang dicintai sahabatnya adalah orang yang sama.
Sama-sama Jun. Janji-janji serta mimpi-mimpi Hana yang dirajut bersama Jun kini
hanya sebuah ilusi yang kosong dan hampa. Semuanya ternyata hanya bualan dan
dusta. Hana lagi-lagi merasakan kesakitan hati yang teramat dalam. Mendapati kisah cinta yang
teramat menyakitkan seperti ini. kedekatan yang sudah begitu baik terjalin
antara dia dengan sahabatnya harus pupus hanya karena tingkah gila Jun. Hana
benar-benar marah dan sedih. Tak lama setelah
pengakuan itu, Hana menyuruh Jun untuk memilih sahabat Hana sendiri.
bagi Hana sahabatnya itu nampak lebih jauh dicintai Jun ketimbang dirinya yang
hanya wanita dengan cinta oplosan.
Hana memaksa Jun
untuk memilih sahabatnya. Meski pada akhirnya ia menyesal juga. Namun setelah
itu Hana kembali berifkir jernih bahwa itu merupakan hal yang tepat baginya dan
untuk Jun serta sahabatnya. Hana yakin, bahwa Jun sangat mencintai sahabatnya
ketimbang dirinya. Banyak bukti dan kenyataan yang selama ini menjadikan Hana
bingung. Dan dengan kejujuran Jun, sedikit demi sedikit mulai terkelupas dan
Hana pun mulai faham dengan alur kisah
yang Jun perbuat.
Tidak jauh
berbeda dengan rasa sakit yang dulu pernah Hana alami juga. Kenyataan pahit ini
jauh lebih menyakitkan bagi Hana. Kadarnya adalah berjuta-juta kubik. Ia harus
mulai terbiasa dengan keadaan dimana tidak ada lagi persahabatan dan hubungan
dengan mereka. Hana bersikukuh untuk tidka akan lagimengganggu hubungan mereka.
Dan tidak ingin lagi berkecimpung dengan mereka. Hana bilang mereka bagai najis
baginya.
Hana mulai
mengukir hidup yang baru. Kesedihan kisah cinta yang baru saja ia alami
membuatnya harus mengubur segala rasa yang ada dengan secepatnya. Agar ia tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Hana mulai
mencoba untuk membuka hati kepada lelaki yang ia sukai. Kepada pengawas yang
tampan. Kepada teman sekelas yang pintar. Kepada senior yang gagah, kepada
santri. Namun semua perasaan yang ia timbulkan dengan paksa itu hanya sia-sia.
Hatinya utuh tidak bergerak untuk bisa mencintai lelaki yang baru. Hingga Hana
pun lelah dan mengubah haluan dalam mencintai.
Kini Hana
mulai medekati Rabbnya. Berhari-hari ia
menghabiksan waktu di mesjid hanya untuk mencari ketenanga batin dan jiwa. Tak
urung dia menangis dalam heningnya malam. Atau tertidur dalam deraian isak
tangis sisa sholat. Ketenangan abtin pun sedikitnya Hana dapatkan.
Segenggam rona merah kini sedikit
terpancar dalam dirinya.
Namun ketika
mengingat masa-masa lalu bersama Jun, kembali Hana ambruk. Lalu lekas ia
kembali menuju mesjid. Dan tak henti mencari obat demi kesembuhan hatinya. Lama
sudah waktu ia habiskan untuk mencari sebutir obat yang bisa sedikitnya
menawarkan rasa sakit hatinya. Hingga kini Hana benar-benar sudah bangkit dan
sudah bisa hijrah dari angkasa kesedihannya.
Hana masih
terheran dengan keadaan hatinya. Hana yang kini sudah berbeda dengan Hana yang
dulu. Begitu yang Hana rasakan. Hingga laki-laki berhamburan untuk
mendatanginya ingin lebih dekat dengannya. Dari mulai lelaki dengan penampilan
yang islami hingga tidak. Namun masih sama hati Hana tetap utuh tidak tergerak. Pun rasa yang dulu dalam
kepada Jun kini sudah membeku laksana balok es. Tidak ada lagi rasa rindu yang
berkecamuk dalam diri Hana. Semuanya sudah hilang dan hanyut dibawa arus sungai
Nil. Hana puas dengan usahanya. Meski
kadang Jun ada menelpon namun dilayani Hana dengan cuek. Lagi-lagi Hana merasa
puas dan bahagia.
Namun hatinya
kini mulai mencari-cari siapa sosok yang harus ia serahkan hatinya kepada seseorang itu. waktu
ternyata telah berjalan begitu cepat hiingga membawa Hana pada suatu keadaan
dimana ia muulai merindukan teman sejatinya. Melihat sahabt-sahabatnya yang
satu persatu mulai beranjak ke pelaminan membuat hati Hana kadang juga
merindukan sosok seseorang yang dipilihkan Tuhan untuk diesrahkannya hatinya
kepadanya. Untuk mencintainya sepenuh hati. Padahal tidak sedikit lelaki yang
lalu lalang memberikan sinyal positif kepadanya. Tapi lagi-lagi hati Hana yang
menjadi diktator kerajaan dirinya, tidak membuka untuk seseorang pn. Tidka ada
cinta yang Hana rasakan sedikirpun kepada mereka. Toh apalagi ketika Hana
dihadapkan pada kegiatan KKN dimana interaksi lelaki-dan wanita disana kurang
dibatasi. Hana tidka sedikitpun merasakan hal-hal di luar dari pertemanan.
Meski Hana tidak tahu di luar sana bagaimana hati lelaki yang menjadi teman
KKNnya.
Hati Hana
nampaknya sudah mati. Benar. Toh hatinya
hanya akan terbuka kepada seseorang yang sudah diakui secara de facto di KUA.
Bagi Hana tidak ada keinginan untuk melakukan uji coba meencintai lelaki
sebelum ia benar-benar takdirnya. Hana hanya tidak ingin apa yang telah dialaminya dulu terulang
kembali dalam kehidupannya. Cukup ia sekali saja merasakan hal tersebut.
Awalnya memang
Hana sempat merasa kagum kepada lelaki yang menjadi temannya di KKN itu. dia
nampak hampir sama dengan Jun yang nampak memiliki wibawa. Namun tidak lama
setelah itu, Hana tahu bahwa lelaki tersebut sudah memiliki pasangan, maka Hana
lekas memperbaiki keadaan hatinya yang mulai
nyer-nyeran. Hingga Hana kini mulai merasakn bahwa hatinya suadah
kembali netral.
Hana pernah
merasakan dan menyaksikan bahwa hati Hana sudah dibuka dan sudah diambil dari
peti emas tersebut. Entah kenapa perasaan Hana merasakan bahwa Hana akan segera
dinikahi. Hingga dia mengambil barang titpannya dari Allah dan kini nampak siap
untuk menyerahkan sebongkah hati itu kepada seseorang yang ditetapkan Allah
untuk memilikinya.
Hana menunggu
dengan was-was. Hana megira sebentar lagi. Beberapa tanda mulai
menggerayanginya. Dari mulai mimpi dilamar, mimpi diberi tahu siapa jodohnya,
mimpi memakai gaun pengantin, serta kefikiran untuk menyiapkan nama-nama untuk
anaknya kelak. Hana tidak ingin terlalu
berharap pada harapannya. Maka ia hanya diam dan tidak begitu memperdulikan
perasaan tersebut. Lagi-lagi Hana hanya berfikir bahwa masih lama. Karena dalam
mimpi itu Jun lah yang dimaksudkan. Sedang saat ini adalah hal yang sangat
mustahil jika memang benar pernikahan Hana itu akan segera hadir dengan Jun
yang menjadi kekasih sejatinya. Ditambah
pula jika melihahubungan Jun dnegan wanita itu sungguh terasa tidak
mungkin karena mereka sudah begitu dekat
seperti itu. hana hanya menarik nafas panjang. Kini ia hanya ingin
memfokuskan diri dan hatinya untuk memperbaiki diri dan agar menjadi wanita
yang bener, baik, dan sholeh.
Comments
Post a Comment