Skip to main content

Kenangan Sakit di Dustira


Bismillah
Sudah lama pisan tidak nulis di sini. Saya rindu! Beberapa waktu yang lalu memang saya terhimpit kesibukan mengurus rumah tangga.
Saya mau sharing pengalaman sakit kemarin. Boleh?
Qodarullah, saya dan suami ditakdirkan sakit di waktu bersamaan 😁 *kompak banget, ya. Suami terdiagnosa radang lambung (awalnya). Beliau demam tinggi dua hari. Saya cukup panik. Tapi, kegesitan mamer akhirnya membuka jalan kesembuhan untuk suami. Hari ketiga suami sudah pulih ke sedia kala. Ups. Tapi, aku lalai mengingatkan. Kami malah makan (sarapan) nasi padang pakai sambal hijau. Akhirnya, siangnya saya yang tumbang. Perut saya panas, diare, panas dingin, dan malamnya saya demam tinggi. Empat hari saya demam dengan suhu 39° C plus plus plus. Wow, ini amat berbahaya sekali untuk janin! Di malam kedua demamnya saya, suami pun ikut kambuh lagi. Akhirnya kami tumbang. Mengungsi ke rumah Mamah 😂 semalam diurus sama Mamah. MasyaAllah!!! Kedua kali ini suami terdiagnosa gejala DBD, begitu pun saya. Katanya ini mirip-mirip dengan gejala DBD.
Pada hari Senin, 24 Desember 2018 saya dan suami berkunjung ke Rumkit Dustira. Rumah Sakit milik TNI di daerah Cimahi. Sesampainya di sana, sangat disayangkan, poliklinik rumkitnya tutup kecuali UGD. Kami pun balik lagi. Sepanjang jalan pun tak gentar mencari klinik yang buka di waktu cuti bersama. Tapi tak ada hasil.
Akhirnya, kami kembali ke Dustira pada tanggal 26 Desember 2018 setelah sebelumnya suami bertanya ke temannya yang bekerja di sana apakah polinya sudah buka? Ya, ternyata tanggal segitu poli rumkit tersebut sudah buka. Alhamdulilah.
Kami berangkat pagi sekitar pukul delapan dengan menggunakan jasa mobil online. Suami mau pun saya kondisinya puyeng, lemas, dan tak karuan. Tapi, masyaAllah, suami kuat banget. Beliau mampu bertahan walau pusing. Berjalan ke sana ke mari melayani saya.
Kami diperiksa sekitar pukul sebelas setelah menunggu dan mendaftar. Dan hasilnya, dokter yang memeriksa saya menyarankan agar saya dirawat inap. Wow!
Setelah berunding, awalnya suami meminta saya rawat jalan saja. Mungkin beliau memikirkan biayanya yg tidak murah. Apalagi di kelas dua, umum pula. Ngeri! Tapi, bu dokternya menyarankan dengan sangat agar saya dirawat sebab demam saya terlalu tinggi, khawatir berbahaya bagi janin. Akhirnya, setelah suami menelfon Mamah, Mamah juga setuju agar saya dirawat karena sedang hamil, saya dirawat juga.
Setelah suster menyiapkan semuanya, sekitar pukul dua saya didorong dengan kursi roda oleh suami menuju ke ruang rawat inap. Rasanya nikmat sekali kaki dan badan saat itu. Inginnya tiduran saja. Tak ada kekuatan. Tapi, suami saya malah semangat sekali mendorong kursi roda, serasa sedang memainkan mobil sepertinya, cepat sekali mendorongnya, beloknya tajam ujung-ujungnya menabrak orang. 🤣 Oh, sayangkuuu.
Setelah menemukan ruang inap, saya berbaring. Ditinggal suami mengurus segalanya. Padahal dia pun sedang tidak fit. Sungguh saya tak tega. Tapi apa mau dikata. Kami tidak mau merepotkan orang banyak. Suamikuuu. 😍😍😍
Akhirnya, saya dipasangi infus untuk pertama kalinya. Ouch! Sakit sekali saat suster menusukan jarum ke urat saya di tangan. Darah segar mengucur deras diinfus sebelum cairan infusannya beraksi.
Selama kurang lebih lima hari saya dirawat di rumah sakit ditemani adik ipar yang kala itu tengah libur mengajar. Terhitung dari hari Rabu, sampai hari Ahad saya di rumah sakit. Lalu apa saja yang saya alami di sana?
Pertama masuk, ruang inap saya sudah terisi oleh dua orang pasien. Satu pasiennya ibu-ibu sekitar empat puluh tahun. Satunya lagi seorang remaja sekitar sembilan belas tahun. Saat datang, dua kasur kosong. Awalnya saya menempati kasur di dekat pintu masuk, tapi suami menyarankan saya pindah ke kasur dekat jendela. Akhirnya saya menurut.
Ruang inapnya sendiri terdiri dari empat kasur yang dihijabi oleh gorden berwarna hijau pucuk daun pisang. Segar. Mungkin harapannya begitu kenapa dipasang warna hijau pucuk.
Saya tiduran dengan kondisi badan menggigil kedinginan. Sudah menunggu lama tapi belum juga saya ditangani. Merasa kesal dan sebal, saya bangkit dengan sisa-sisa kekuatan menuju ke ruangan suster penjaga. Di sana saya bertanya pada suster gempal berkacamatan yang agak judes gitu kan, kenapa penanganan lama sekali sedangkan saya sudah menunggu dalam kondisi yang memprihatinkan. Ternyata, saya harus menunggu suami datang membawa resep dokter berupa sirup batuk. Tak lama setelah saya komplain atas ketidaknyamanan tersebut, suami datang diikuti suster. Segera suster tersebut menyuntik dan memasang infusan dengan terampil. Alhamdulilah saya cukup tenang.
Sakit dan dirawat adalah pengalaman pertama saya. Diinfus, diambil darah, makan makanan rumkit, uh, benar-benar hal pertama bagi saya sepanjang hidup. Awal-awal di sana, saya lahap menghabiskan makanan yang tersedia. Tapi, setelah menjelang pulang, malah mual dan enek lihatnya 😂 sungguh terlaluuu, ya.
Menjelang malam, sekitar pukul tujuh, saat saya sedang istirahat menuju tidur, ada pasien baru. Dia menempati kasur yang sebelumnya saya tempati, yakni yang di dekat pintu. Pasien ini sudah tua. Beliau muntah-muntah semenjak datang ke ruangan. Dia di samping saya. Saya memaklumi kondisinya yang mual-mual, muntah, dan sering berak tersebut. Pada malam berikutnya, kondisi ibu tua ini semakin parah. Akhirnya dia dipindah ke ruangan lain untuk dibantu oksigennya. Tinggal sisa dua.
Pasien di depan saya yang seorang wanita paruh baya, amat ramah sekali. Bertanya, tersenyum, mengobrol bersama saya. Sejenak, jika diteliti wajahnya mirip sekali dengan orang Batak. Tapi, entah benar apa tidak, hehe. Baru semalam saya di situ, ternyata ibu itu sudah waktunya pulang. Yah. Sangat disayangkan. Heuheu. Ya, beliau pulang di Kamis sore. Dan ternyata anak ABG itu pun sama. Sudah dibolehkan pulang. Akhirnya, penghuni ruang empat kelas dua itu tersisa tinggal aku serang.
Malam pun tiba, rutinitasku ya tidur, ke kamar mandi, main hp, lalu tidur. Xixi. Pasien penghuni ruangan itu tersisa saya saja. Serasa di ruang VIP lah. Hahaha. Leluasa mau apa pun. Tapi, tidak lama dari itu, sekitar pukul satu dini hari ada pasien baru masuk. Menghuni kasur di depan saya. Dia seorang mahasiswa dan seorang karyawan yang kena tipus. Dia diantar oleh dua orang temannya. Saat datang, aku dan Dek Putri sedang tertidur. Namun, jadi terbangun karena kedatangan mereka cukup bising. Apalagi saat salah satu pengantar itu keluar masuk kamar mandi. MasyaAllah, menutup pintunya kencang sekali. Sampai aku membaca istigfar karena kaget beberapa kali. Lain lagi dengan temannya yang satu lagi saat melangkahkan kaki, suara sandalnya itu cukup membuat telinga jadi terganggu karena keras sekali suaranya. Ditambah itu dini hari, suasana sepi. Setelah diinfus dan berbaring, mereka masih ngobrol. Subhanallah. Suaranyaaa. Tak terkontrol. Mata yang baru saja terlelap pun tak dapat lagi tertutup. Ya, ini lah kelas dua itu.
Beberapa jam setelahnya, yakni sekitar pukul lima, pasien baru datang. Kali ini ibu beranak satu. Dia sakit ulu hati karena saat perut kosong, dia makan sayur yang ada cabainya. Ulalaaaa. Macam-macam, ya.
Setelah beberapa jam berlalu, datang lagi pasien baru. Kini menghuni kasur di sampingku. Dia sudah berumur. Sama seperti pasien sebelumnya, dia pun muntah-muntah. Akhirnya, ruangan ramai lagi. Dihuni lengkap oleh empat pasien. Namun, bedanya, kali ini pasiennya tidak seseru yang sebelumnya. Pasien sekarang cenderung diem diem baeee. Saya pun enggan memulai. 😁
Hari Ahad pun tiba, kondisi saya sudah lebih baik dari sebelumnya. Dari hari Jumat, saya dan suami sepakat untuk pulang di hari Sabtu. Namun, rumkit belum membolehkan. Masalahnya, kalau lama-lama, biayanya pun makin besar. Duh! Akhirnya, setelah susternya saya coba lobby dengan mengatakan bahwa penjaga saya sudah mau masuk kerja, sedangkan suami saya juga belum sembuh, masih dirawat di rumah. Kalau pulangnya hari Senin, saya khawatir tidak ada yang bisa menjaga. Dengan alasan tersebut saya diperbolehkan pulang. Catatannya di rumah trombosit saya diusahakan harus naik, karena setelah dites darah di lab, darah saya menujukan bahwa trombosit yang awalnya 150 berkurang cukup drastis jadi 130. Ini yang berbahaya. Selama di rumkit, saya disarankan banyak minum agar virusnya ikut ke luar dengan air kencing. Tak disangka, keluarga suami perhatian juga. Saya dijenguk. Oleh Bi Leli, Kakaknya suami, dan sepupu suami. Hihi. Alhamdulilah. That's family for.
Setelah melobby suster, akhirnya Ahad siang saya pulang juga. Dijemput suami pulang dengan menumpang mobil online. Alhamdulilah suami juga sudah lebih baik. Saya senang sekali. Pulang-pulang teh bawa cucian, tikar bulu, dan segala perlengkapan yang kemarin sempat di bawa ke rumkit 😂 Suami tentu yang bawa. Hehe.
Ternyata, biaya lima hari lima malam yang saya lalui di sana berjumlah dua juta. Total ruangan, makan, dan obat. Alhamdulilah. Awalnya saya kira mencapai tiga jutaan. Wadaw. Ngeri saya. Hahaha.
Selain oleh-olehnya pakaian kotor dan perlengkapan bekas dirawat, saya juga bawa sekantong obat sebagai oleh-oleh. Vitamin hamil, penambah darah, untuk lambung, dsb.
Saya juga mikir-mikir, apa benar saya kena gejala DBD? Kalau melihat beberapa cirinya, sih, iya, saya kena gejala DBD. Seperti pegal-pegal, mimisan walau tak ke luar, dan demam tinggi. Tapi, saya juga diberi obat lambung. Herannya saya di situ. Setelah baca referensi baru saya paham kenapa ada obat lambung segala. Kenapa? Ya, karena sebenarnya DBD itu belum ada obatnya yang pasti, jadi, pasien hanya akan diberikan obat sesuai dengan keluhannya saja.
Di atas saya sebutkan, bahwa kaki saya pegal-pegal. Nah, setelah pegal itu hilang, di kaki saya muncul ruam-ruam merah di pori-pori. Seperti bintik-bintik gigitan nyamuk, tapi bukan. Ruam merahnya itu menutup pori-pori saya di kedua kaki. Saya ngeri melihatnya. Jadi, ini penyebab kaki saya pegal. Tapi, apa betul ini pertanda saya kena gejala DBD? Saya masih belum yakin, sebab menurut dokter yang mengukur tensi darah saya, katanya ini bukan DBD tapi sembelit.
Nah, setelah kami kembali menempati kontrakan, suami pun bilang bahwa kondisi saya dan beliau yang mirip DBD itu bukan DBD tapi bisa saja dari lambung. Saya pun mengangguk-angguk tanda setuju dan sepaham. Iya, bisa jadi. Kondisi saya dan suami yang mirip DBD itu sejatinya bukan DBD tetapi berasal dari lambung. Wallahua'lam.
Sekarang, sudah seminggu saya di kontrakan. Saya coba menjalani hidup dan pola makan yang baik dan benar agar kejadian serupa tidak terjadi kembali. Saya sadari, bahwa sepertinya kesalahan ada di saya selaku aktor yang menyiapkan dan menghidangkan makanan untuk suami setiap hari. Suami dan saya seringnya menahan lapar. Makan sedikit karena kurang nafsu makan. Ditambah kalau masak pasti selalu ada cabainya. 🤣 Itu bahaya.
Sekarang, sarapan diusahakan harus tersejai pukul enam pagi. Makan siang harus sudah tersaji pukul setengah satu. Dan makan malam sekitar pukul setengah tujuh sebelum isya berkumandang.
Memang, ya, katanya sumber penyakit datang itu pertama datang dari perut. Makna lainnya dari makanan yang kita asup. Kalau makan telat, ditambah saat lambung kosong malah diisi oleh yang pedas dan berminyak, maka jangan heran kalau suatu hari nanti lambung itu protes ke tubuh, ke Allah, akhirnya kita sakit.
Suami sering saya suguhi makanan pedas dan berminyak. 😤 Maafkan daku, Sayang. Terkadang, beliau makan banyak kedua makanan tersebut di saat perutnya kosong. Akhirnya, muncul reaksi demam tinggi sebagai tanda komplainnya lambung. Sorry.
Sakit kemarin jadi refleksi bagi kami terutama saya agar lebih memperhatikan asupan makanan dan memperhatikan kerja organ tubuh terutama lambung. Mereka bukan robot, ya, toh. Mereka organ titipan Ilahi yang punya daya kerja sendiri. Kalau daya kerjanya tidak digunakan sesuai porsi dan fungsinya, ya, macam saya dan suami lah efeknya.
Baik lah, Guys. Segala sakit dan musibah pasti mengandung hikmah bagi kita. Doakan kami selalu, ya. Agar sehat wal afiat selalu. Begitu pun dengan kalian yang mendoakan semoga hal yg sama kalian bisa dapatkan juga. Aamiin.
Sekian kisahnya. Saya akhiri dengan salam. Assalaamualaykum!!!

Comments

Popular posts from this blog

Housewife Vs Homemaker

Housewife vs Homemaker? Apa ini? Dalam Bahasa Inggris, profesi IRT alias Ibu Rumah Tangga biasa disebut housewife . Karena ilmu bahasa Inggris saya nihil, jadi saya gak tau kenapa orang Inggris menamakan IRT itu dengan sebutan housewife ? Sebuah kata yang terdiri dari dua suku kata, "rumah" dan "istri". Kalau dibolehin untuk ngasih opini dari kelas sudra saya, mungkin maksudnya adalah seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah. Wah, keren. Lebih lengkapnya bisa mungkin cari di kamus EOD, Gais. Daripada penasaran, hehe. Gak salah memang kalau seorang IRT diartikan sebagai seorang istri yang jadi pengendali urusan rumah, sebab memang begitu lah kenyataan yang sering terjadi di masyarakat. Namun, karena bahasa punya sifat inovatif, di mana dia bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, bisa jadi kosakata housewife  dapat digantikan perannya menjadi homemaker . Wah, apa itu? Istilah homemaker  tercetu

Belajar Bahasa Jepang Sehari-hari

Di Rumah Orang Jepang biasanya sesaat setelah mereka bangun pagi, akan langsung menyapa keluarganya. Dengan ucapan selamat pagi, "Ohayou" . Mereka akan saling mendahului untuk menyapa dengan ucapan ini. Mari kita mulai percakapannya! Sakura : "Ohayou" Okaasan : "Ohayou" Otousan : "Ohayou" Kenta (Imouto) : "Ohayou" Sakura : Hayaku okiru ne, Kenta ha." Okaasan : "Sou ne. Kyou otona ni nattakara ne." Kenta : "Nande sore. Kyou shiken ga attakara." Otousan : " Yoku ganbatte ne . Jaa, ikanakya. Ittekimasu . " Okaasan : "A, itterashai ." Kenta to Sakura : " Itterashai ." Terjemahan Sakura : "Pagi." Ibu : "Pagi." Ayah : "Pagi" Kenta (adik laki-laki) : "Pagi." Sakura : "Kenta bangunnya cepet ya." Ibu : "Iya ya. Karena sekarang ma udah gede." Kenta : "Apaan sih. Aku bangun cepet karena ada ujian hari in

Asmaul Husna*

Saat mendengarkan iklan di radio MQ FM, saya terkesan oleh salah satu lagu di dalamnya. Lagu itu menyanyikan 99 nama-nama Allah yang baik dan agung, yakni Asmaul Husna. Lalu sadar kalau laguitu sangat menyentuh hati saya, saya buru-buru merekamnya. Dan lalu saya menangis ketika mendengarkannya. Alhamdulilah. Sudah dua minggu semnejak saya mendapatkan lagu baik itu. Lalu saya ingin sekali mengikuti lagu tersebut. Namun saya terbatas karena belum hafal lirik lagunya. Dengan beberapa kali mendengarkan lagu itu, saya pun menulis liriknya yang semoga sesuai dengan lagu tersebut. Saya masih belum tahu siapa gerangan sang biduannya. Mungkinkah Sami Yusuf? Hemm. Siapapun dia, semoga Allah menjaganya dengan sebaik-baik perlindungan ^^ Bdw, ini lanngsung saja saya lampirkan liriknya. Siapa tahu kalian sudah  punya lagunya tapi belum tahu liriknya. Hehe. Mari kita sharing . Yang bisa nyanyiin lagunya, ayo nyanyikan! Ya Allah...4x Ya Allah...4x Allahu antal malikul quddus... Wal jabbarul